BUMN Yang Menunggak Pajak

JAKARTA. Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengonfirmasi tentang jumlah tunggakan pajak perusahaan BUMN senilai Rp 7,6 triliun. Kamis (28/1), Direktur Jenderal Pajak Tjiptardjo mengatakan, tunggakan pajak BUMN hingga kini mencapai Rp 7,6 triliun. Menurut Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu, data tunggakan perusahaan BUMN harus dibedakan dalam beberapa kategori. "Jadi jumlah itu tidak semua BUMN yang betul-betul menunggak pajak," ujarnya hari ini (29/1).

Kategori itu bisa dibedakan antara BUMN yang memang menunggak pajak, perusahaan BUMN yang pajaknya masih dalam sengketa, dan tunggakan pajak yang masih harus direkonsoliasikan datanya. Said mengaku, ada tiga perusahaan yang benar-benar menunggak pajak, yaitu PT Djakarta Lloyd, PT Merpati Nusantara, dan PT Perkebungan Nusantara XIV. "Memang ada yang menunggak, tapi cuma tiga perusahaan," ujar Said yang juga menjabat sebagai komisaris PT Merpati Nusantara ini. Dia bilang, ketiga perusahaan tersebut menunggak pajak karena masih menghadapi masalah keuangan. Jika ketiga perusahaan itu disuruh membayar semua tunggakan, pasti tidak mampu. "Kalau disuruh bayar semua, bisa bangkrut," katanya.

Menurutnya, perusahaan BUMN yang masih besar tunggakannya tergolong pajak yang berstatus sengketa. "Ditjen (Direktorat Jenderal) pajak masih menganggap yang berstatus sengketa dianggap tunggakan," imbuhnya.
Selain pembedaan ketiga kategori, solusi yang ingin ditawarkan Said adalah mengonversi utang pajak tersebut. Utang pajak bisa saja diubah menjadi penyertaan modal negara atau ditanggung pemerintah saja. "Tapi, nanti perlu dibicarakan dulu dengan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)," tegasnya.

Sekedar informasi, selain tiga perusahaan yang benar-benar menunggak, ada beberapa perusahaan BUMN yang masih bersengketa di pengadilan pajak. Mereka adalah PT Jamsostek, PT Semen Tonasa, dan PT Angkasa Pura.
Selain itu, ada dua perusahaan yang masih memiliki masalah pajak, yaitu PT Garuda Indonesia dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI). Menurut Said, kedua perusahaan tersebut masuk dalam kategori rekonsiliasi data karena manajemen perseroan mengaku tidak mengetahui ada masalah pajak di perusahaannya.


sumber : kontan-online

Tatacara Penghitungan PPh Pesangon - 2009 PP-68/2009 dan PMK-16/PMK.03/2010

DASAR HUKUM

Peraturan Pemerintah No 68 tahun 2009
Peraturan Menteri Keuangan No 16/PMK.03/2010



PENGERTIAN

1. Uang Pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.

2. Uang Manfaat Pensiun adalah penghasilan dari manfaat pensiun yang dibayarkan kepada orang pribadi peserta dana pensiun secara sekaligus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang dana pensiun oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

3. Tunjangan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara tunjangan hari tua kepada orang pribadi yang telah mencapai usia pensiun.

4. Jaminan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja kepada orang pribadi yang berhak dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau keadaan lain yang ditentukan.

5. Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja adalah badan yang dituniuk oleh pemberi kerja untuk mengelola Uang Pesangon yang selanjutnya membayarkan Uang Pesangon tersebut kepada Pegawai dari pemberi kerja pada saat berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja.

6. Pemotong Pajak adalah pemberi kerja, Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Dana Pensiun Pemberi Kerja, atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan lain yang membayar Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua.


SIFAT

1. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final.

2. Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender

3. Dalam hal terdapat bagian penghasilan yang terutang atau dibayarkan pada tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya, pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah bruto seluruh penghasilan yang terutang atau dibayarkan kepada Pegawai pada masing-masing tahun kalender yang bersangkutan

Misalkan pembayaran Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang seharusnya dilakukan sekaligus, namun masih dilakukan bagian pembayaran pada tahun ketiga sebesar Rp50.000.000,00, jika kepada Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan dalam tahun tersebut hanya dibayarkan penghasilan tersebut, Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah bruto tersebut, yaitu sebesar 5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00.

Penerima penghasilan sebagaimana contoh diatas yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak, maka Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong sebesar 120% x 5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 3.000.000,00.

4. Pajak Penghasilan Pasal 21 (seperti yg disebutkan dalam nomor 3) yang dipotong tidak bersifat final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pajak pendahuluan atau kredit pajak.


TARIF PPh PASAL 21 UANG PESANGON

Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon ditentukan sebagai berikut :

a. sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);

b. sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah);

c. sebesar 15% (lima belas persen) atas penghasilan bruto di atas Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);

d. sebesar 25% (dua puluh lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).

Contoh perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong atas penghasilan berupa Uang Pesangon dengan jumlah Rp 175.000.000,00.

Penghasilan bruto

Rp 175.000.000,00

Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang :


0% x Rp50.000.000,00

=

RP 0,00


5% x Rp50.000.000,00

=

Rp 2.500.000,00


15% x Rp75.000.000,00

=

Rp 11.250.000,00 (+)




______________




Rp13.750.000,00


Dalam hal pembayaran Uang Pesangon dalam contoh tersebut di atas dilakukan dalam beberapa kali pembayaran, misalnya :

a. Bulan Desember 2009

=

Rp 50.000.000,00


b. Bulan April 2010

=

Rp 125.000.000.00 (+)




_______________


Jumlah


Rp 175.000.000,00


Perhitungan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 didasarkan pada jumlah pembayaran sebagai satu kesatuan, yaitu sebesar Rp 175.000.000.00

Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong :

Bulan Desember 2009:


Jumlah penghasilan bruto



Rp 50.000.000,00

Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang :


0% x Rp50.000.000.00

=

Rp 0,00


Bulan April 2010:


Jumlah penghasilan bruto



Rp 125.000.000,00

Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang :


5% x Rp 50.000.000.00

=

Rp 2.500.000,00


15% x Rp75.000.000.00

=

Rp 11.250.000,00 (+)




______________


Jumlah


Rp 13.750.000,00


Jumlah seluruh Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong : Rp 0,00 + Rp 13.750.000,00 = Rp 13.750.000,00



TARIF PPh PASAL 21 UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, ATAU JAMINAN HARI TUA

Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai berikut:

a. sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah);

b. sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Contoh perhitungan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong atas pembayaran Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus sebesar Rp 150.000.000,00 adalah:

Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus Rp 150.000.000,00

Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang:


0% x Rp 50.0000.000,00

=

Rp 0,00


5% x Rp 100.000.000,00

=

Rp 5.000.000,00




_____________


Jumlah

=

Rp 5.000.000,00






Dalam hal jumlah pembayaran uang Jaminan Hari Tua tersebut di atas dibayarkan dalam beberapa kali pembayaran, misalnya :

Bulan Desember 2009 sebesar


Rp 50.000.000,00


Bulan Februari 2010 sebesar


Rp 100.000.000,00




_______________


Jumlah


Rp 150.000.000,00


Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebagai berikut:

Bulan Desember 2009:
0% x Rp50.000.000,00

=

Rp 0,00


Bulan Februari 2010:
5% x Rp 100.000.000,00

=

Rp 5.000.000,00




_____________


Jumlah

=

Rp 5.000.000,00



TATACARA PEMOTONGAN

1. Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun,Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua.

2. Pemotong Pajak wajib memberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada Pegawai yang berhak menerima Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun,Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua

3. Kewajiban menghitung, memotong, menyetorkan, dan kewajiban memberikan bukti pemotongan tetap dilakukan terhadap Pegawai yang dikenai tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar 0%(nol persen).


PENGALIHAN PEMBAYARAN

1. Pembayaran Uang Pesangon kepada Pegawai dapat dilakukan secara langsung oleh pemberi kerja atau dialihkan kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja.

2. Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara sekaligus kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai dianggap telah menerima hak atas Uang Pesangon

Dalam hal pembayaran Uang Pesangon dialihkan oleh pemberi kerja kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan oleh pemberi kerja pada saat pengalihan Uang Pesangon

3. Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara bertahap atau berkala kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai dianggap belum menerima hak atas Uang Pesangon. Pemberi kerja tidak melakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal21 atas pengalihan Uang Pesangon tersebut.

Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Uang Pesangon dilakukan oleh Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja pada saat pembayaran Uang Pesangon kepada Pegawai

4. Dalam hal terjadi pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun membeli anuitas seumur hidup, Pegawai sebagai peserta dianggap telah menerima hak atas Uang Manfaat Pensiun vang dibayarkan secara sekaligus.

Dalam hal terjadi pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa, pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan pada saat pembelian anuitas seumur hidup


BERLAKU

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 16 Nopember 2009

Pada saat Peraturan Pemerintah No 68 Tahun 2009 ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 149 Tahun 2000 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku


DOWNLOAD

Bukti Potong Final – klik disini

Upah Minimum Regional 2010 di berbagai Propinsi

1. Upah minimum provinsi Sulawesi Selatan 2010 adalah Rp 1.000.000,- (KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3988/XII/Tahun 2009)


2. Upah minimum provinsi Maluku 2010 adalah lihat lampiran KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI MALUKU NOMOR 396 TAHUN 2009


3. Upah Minimum Provinsi (UMP) Sulawesi Tengah 2010 sebesar Rp.777.500,- (Tujuh Ratus Tujuh Puluh Tujuh Ribu Lima Ratus Rupiah) per bulan dan untuk Upah Minimum Harian sebesar Rp. 31.100,- (Tiga Puluh Satu Ribu Seratus Rupiah) per hari. KEPUTUSAN GUBERNUR SULAWESI TENGAH NOMOR 561/506/DISNAKERTRANS/G.ST/2009


4. Upah Minimum Provinsi (UMP) Bengkulu Tahun 2010 sebesar Rp. 780.000,- (Tujuh ratus delapan puluh ribu rupiah). KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI BENGKULU NOMOR M.300.XIV TAHUN 2010


5. Upah Minimum Kabupaten Tangerang Provinsi Banten dan Kota Tangerang Selatan Tahun 2010 sebesar Rp 1.117.245,00 (Satu Juta Seratus Tujuh Belas Ribu Dua Ratus Empat Puluh Lima Rupiah) per bulan untuk pekerja dengan masa kerja di bawah satu tahun. KEPUTUSAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 561/Kep.587-Huk/2009


6. Upah Minimum Kota Tangerang Provinsi Banten Tahun 2010 sebesar Rp 1.118.009,00 (Satu Juta Seratus Delapan Belas Ribu Sembilan Rupiah) per bulan untuk pekerja dengan masa kerja di bawah satu tahun. KEPUTUSAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 561/Kep.588-Huk/2009 Upah Minimum Provinsi (UMP) Sumatera Utara 2010 sebesar Rp 965.000,- (Sembilan Ratus Enam Puluh Ribu Rupiah/bulan). KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI SUMATERA UTARA NOMOR 561/4894/K/TAHUN 2009


7. Upah Minimum Provinsi (UMP) Nusa Tenggara Timur 2010 sebesar Rp. 800.000,- (Delapan ratus ribu rupiah) per bulan; KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
NOMOR 347/KEP/HK/2009


8. Upah minimum Kabupaten / Kota di Bali 2010 adalah lihat lampiran PERATURAN GUBERNUR PROVINSI BALI
NOMOR 45 TAHUN 2009


9. Upah Minimum Provinsi (UMP) Tahun 2010 di Provinsi Kepulauan Riau adalah sebesar Rp. 925.000,- (Sembilan Ratus Dua Puluh lima Ribu Rupiah) per bulan. KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 442 TAHUN 2009


10. UMSP Tahun 2010 ditetapkan dalam kelompok Bangunan dan Pekerjaan Umum per hari, Kimia, Energi dan Pertambangan, Logam, Elektronik dan Mesin, Otomotif, Asuransi dan Perbankan, Makanan dan Minuman, Farmasi dan Kesehatan, Tekstil, Sandang dan Kulit serta Pariwisata per bulan sebagaimana tercantum dalam Lampiran ini. PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2010


11. Menetapkan besarnya upah minimum pada 26 (dua puluh enam) Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2010 sebagaimana tercantum dalam Lampiran, PERATURAN GUBERNUR PROVINSI JAWA BARAT
NOMOR 561/Kep.1665-Bangsos/2009


12. Besarnya Upah Minimum Provinsi (UMP) Lampung sebagaimana dimaksud pada Diktum Kesatu adalah sebesar Rp 767.500 (Tujuh ratus enam puluh tujuh ribu lima ratus rupiah) Perbulan. KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI LAMPUNG NOMOR G/681/III.05/HK/2009


13. Menetapkan Upah Minumum Kabupaten Lebak Provinsi Banten Tahun 2010 sebesar Rp 959.000,00 (Sembilan Ratus Lima Puluh Sembilan Ribu Lima Ratus Rupiah) per bulan untuk pekerja dengan masa kerja di bawah satu tahun. KEPUTUSAN GUBERNUR BANTEN
NOMOR 561/Kep.566-Huk/2009


14. Menetapkan Upah Minimum Kota Cilegon Provinsi Banten Tahun 2010 sebesar Rp 1.174.000,- (Satu Juta Seratus Tujuh Puluh Empat Ribu Rupiah) per bulan untuk pekerja dengan masa kerja di bawah satu tahun. KEPUTUSAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 561/Kep.565-Huk/2009


15. Upah sebagaimana dimaksud pada Diktum Kesatu sebesar Rp 965.000,- (Sembilan Ratus Enam Puluh Ribu Rupiah/bulan). KEPUTUSAN GUBERNUR
PROVINSI SUMATERA UTARA NOMOR 561/4894/K/TAHUN 2009


16. Upah Minimum Provinsi di provinsi Gorontalo adalah sebesar Rp 710.000,- (tujuh ratus sepuluh ribu rupiah) perbulan. KEPUTUSAN GUBERNUR GORONTALO NOMOR 295/12/X/2009


17. Upah Minimum Provinsi Banten Tahun 2010 sebesar Rp 955.300,00 (Sembilan Ratus Lima Puluh Lima Ribu Tiga Ratus Rupiah) per bulan untuk pekerja di bawah masa kerja satu tahun. KEPUTUSAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 561/Kep.506-Huk/2009


18. Upah minimum provinsi dan upah minimum Sektoral Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2010 yang berlaku di seluruh Kabupaten/Kota seSulawesi Tenggara yang belum mempunyai upah minimum Kabupaten/Kota adalah sebesar dalam LAMPIRAN. PERATURAN GUBERNUR SULAWESI TENGGARA NOMOR 67 TAHUN 2009


19. Upah Minimum provinsi (UMP) dan upah minimum Sektoral Provinsi (UMSP) Tahun 2010, di Provinsi Kalimantan Tengah, sebesar dalam LAMPIRAN. PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 29 TAHUN 2009


20. Upah Minimum Provinsi Kalimantan Timur TAHUN 2010 sebesar Rp. 1.002.000,- (satu juta dua ribu rupiah) perbulan. KEPUTUSAN GUBERNUR PROPINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 561/K.551/2009


21. Upah Minimum Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2010 sebesar Rp. 910.000,00 (Sembilan ratus sepuluh ribu rupiah) per bulan dengan standar 7 (tujuh) jam kerja sehari dan 40 (empat puluh) jam kerja seminggu. KEPUTUSAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 88.44/533/TK.T/2009


22. Upah Minimum Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2010 sebesar Rp 927.825 (sembilan ratus dua puluh tujuh ribu delapan ratus dua puluh lima rupiah) per bulan dengan standar 7 (tujuh) jam kerja sehari dan atau 40 (empat puluh) jam kerja seminggu. KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 740/KPTS/DISNAKERTRANS/2009


23. Upah Minimum Provinsi Riau Tahun 2010 sebesar Rp. 1.016.000,-/bulan (satu juta enam belas ribu rupiah); PERATURAN GUBERNUR PROVINSI RIAU NOMOR 94 TAHUN 2009


24. Upah Minimum Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2010 sebesar Rp 745.694 (Tujuh ratus empat puluh lima ribu enam ratus sembilan puluh empat rupiah). KEPUTUSAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 217/KEP/2009


25. Upah Minimum dalam Provinsi Aceh ditetapkan sebesar Rp. 1.300.000,- (satu juta tiga ratus ribu rupiah) per bulan. PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 132 TAHUN 2009


26. Provinsi (UMP) Kalimantan Selatan Tahun 2010 sebagaimana dimaksud dalam diktum KESATU ini adalah sebesar Rp. 1.024.500,00 (satu juta dua puluh empat ribu lima ratus rupiah). KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 188.44/0487/KUM/2009


27. Upah Minimum Provinsi Bali sebesar Rp. 829.316,- (Delapan ratus dua puluh sembilan ribu tiga ratus enam belas rupiah) per bulan bagi pekerja lajang dengan masa kerja 0 (nol) sampai dengan 1 (satu) tahun termasuk pekerja yang masih dalam masa percobaan. PERATURAN GUBERNUR PROVINSI BALI NOMOR 44 TAHUN 2009


28. Menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) Papua Barat dan upah minimum Sektoral Provinsi (UMSP) Papua Barat Tahun 2010 dengan rincian sebagai berikut:

A. Upah Minimum Provinsi (UMP) Papua Barat sebesar Rp. 1.210.000,- perbulan.

B. Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) Papua Barat Sub Sektor:

1. Minyak Dan Gas Bumi, sebesar Rp. 1.328.000,- perbulan;

2. Emas dan Tembaga, sebesar Rp. 1.328.000,- perbulan;

3. Jasa konstruksi, sebesar Rp. 1.328.000,- perbulan;

KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA BARAT NOMOR 187 TAHUN 2009


29. Upah Minimum Provinsi (UMP) Jambi Tahun 2010 sebesar Rp. 900.000,- (sembilan ratus ribu rupiah) / bulan untuk waktu 7 Jam kerja sehari dan 40 jam kerja seminggu. KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI JAMBI NOMOR 458/Kep.Gub/DISOSNAKERTRANS/2009

Ketentuan Mengenai Faktur Pajak sesuai UU No 42 Tahun 2009

KETENTUAN MENGENAI FAKTUR PAJAK SESUAI UU NO 42 TAHUN 2009 (UU PPN BARU)

(Mulai Berlaku 1 April 2010)


A. Saat Pembuatan Faktur Pajak (Pasal 13 (1a))


Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:

a. penyerahan Barang Kena Pajak

b. penyerahan Jasa Kena Pajak

c. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud

d. ekspor Jasa Kena Pajak


Faktur Pajak harus dibuat pada: *)


a. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak

b. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;

c. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau

d. saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Dikecualikan dari ketentuan diatas*), Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1 (satu) Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan kalender. Faktur Pajak tersebut harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan.


Contoh:

Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 1, 5, 10, 11, 12, 20, 25, 28, dan 31 Juli 2010, tetapi sampai dengan tanggal 31 Juli 2010 sama sekali belum ada pembayaran atas penyerahan tersebut, Pengusaha Kena Pajak A diperkenankan membuat 1 (satu) Faktur Pajak gabungan yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan pada bulan Juli, yaitu paling lama tanggal 31 Juli 2010.


B. Syarat Faktur Pajak


Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:


a. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;

b. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;

c. jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;

d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;

e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;

f. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan

g. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.


Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal apabila diisi secara lengkap, jelas, dan benar sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud diatas atau persyaratan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.


Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak. *)


*) Ketentuan ini diperlukan, antara lain, karena:

a. faktur penjualan yang digunakan oleh pengusaha telah dikenal oleh masyarakat luas, seperti kuitansi pembayaran telepon dan tiket pesawat udara;

b. untuk adanya bukti pungutan pajak harus ada Faktur Pajak, sedangkan pihak yang seharusnya membuat Faktur Pajak, yaitu pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, berada di luar Daerah Pabean, misalnya, dalam hal pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, Surat Setoran Pajak dapat ditetapkan sebagai Faktur Pajak; dan

c. terdapat dokumen tertentu yang digunakan dalam hal impor atau ekspor Barang Kena Pajak Berwujud.


Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak memenuhi persyaratan material apabila berisi keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.


Dengan demikian, walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan formal dan sudah dibayar Pajak Pertambahan Nilainya, apabila keterangan yang tercantum dalam Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tersebut tidak memenuhi syarat material.


C. Sanksi atas Pelanggaran Syarat Formal Faktur Pajak (Pasal 13 (5) jo Pasal 14 (1) e UU KUP)


PKP tidak dikenai sanksi apabila menerbitkan Faktur Pajak yang tidak memuat:

1. Identitas pembeli; atau

2. Identitas pembeli, serta nama dan tanda tangan untuk FP yang diterbitkan oleh pedagang eceran.

(Psl 14 (1) huruf e UU KUP)


FP tersebut tidak dikategorikan sebagai FP cacat, namun Faktur Pajaknya sendiri tidak dapat dikreditkan oleh pembelinya.