Darussalam, pakar perpajakan dari Tax Centre Universitas Indonesia, menilai pasal tersebut telah menyalahi prinsip dasar PPN karena pada jenis pajak ini dikenakan atas pengeluaran konsumsi.
Dengan begitu Pasal 9 Ayat (6a) RUU PPN & PPnBM seharusnya dihapus. "Jika gagal berproduksi secara prinsip tidak ada PPN yang harus mereka pungut dan setorkan, karena pembelian barang modal untuk produksi, bukan konsumsi," tegasnya dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan pansus RUU PPN PPnBM di DPR, kemarin.
Menurut dia, pengusaha kena pajak yang membeli barang untuk tujuan produksi bukan pihak yang dibebani PPN, melainkan pihak yang diberi kewajiban untuk memungut dan menyetorkan PPN sebesar nilai lebih pajak keluaran atas pajak masukan.
"Kalau peraturan ini diterapkan, orang yang akan berinvestasi ke Indonesia dengan risiko bisnis yang tinggi akan berpikir ulang untuk menanamkan modal," ujarnya.
Hal senada disampaikan oleh pakar perpajakan UI lainnya Haula Rosdiana. Menurut dia, ketentuan itu akan menyebabkan beban pajak yang besar jika PKP merugi dan terpaksa harus menjual aktivanya (termasuk barang modal). Kondisi ini akan menyebabkan PKP terkena PPN Pasal 16D dari pengalihan aktiva yang semula tidak untuk diperjualbelikan.
Untung Sukardji, Widyaiswara Utama Pusdiklat Perpajakan (BPPK), mengatakan gagal produksi merupakan keadaan force majeur. Dia yakin tidak ada pengusaha yang melakukan investasi menghabiskan modal miliaran rupiah kemudian dengan penuh kesengajaan membuat perusahaan gagal produksi.
"Seharusnya tidak perlu dilakukan koreksi atau penyesuaian terhadap pajak masukan yang telah dikreditkan atau telah dikembalikan," katanya.
Di pihak lain, anggota Komisi XI dari F-PKS Andi Rahmat menyatakan sependapat dengan usulan penghapusan Pasal 9 Ayat (6a) tersebut. Menurut dia, gagal produksi merupakan kondisi force majeur sehingga alasan pengenaan pajak bagi PKP yang gagal berproduksi adalah tidak logis. "Saya yakin DPR akan loloskan ini dan semua fraksi saya pikir akan menyetujui itu," katanya.
Usulan REI

Dewan Pengurus Pusat Realestat Indonesia (REI) mengusulkan agar rumah sederhana sehat (RSH), rumah susun sederhana (rusuna) dan rumah susun sederhana milik (Rusunami) dibebaskan dari PPN atas penyerahannya.
Ketua Umum REI Teguh Satria berpendapat RSH dan Rusunami merupakan barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak sehingga dalam penyerahannya harus dibebaskan dari PPN.
"Ini sejalan dengan jaminan yang telah diberikan UU No.4/1992 tentang perumahan dan permukiman, dalam pasal 5 ayat 1. Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan atau menikmati dan atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur," jelasnya.
Teguh juga mengusulkan agar rumah susun sederhana (rusuna) dan rusunami berada dalam batasan yang sama sehingga PPN keduanya bisa dihilangkan termasuk jasa kontraktornya.
Lebih jauh, Teguh meminta UU PPN menegaskan hunian, baik berupa rumah maupun rumah susun (apartemen) bukanlah barang mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat 1 UU PPN.
Menurut dia, mewah atau mahalnya suatu bangunan banyak dipengaruhi oleh komponen finishing dan furnitur, yang sebagian besar dari komponen tersebut sudah dikenai PPnBM.
Usulan berbagai pihak terkait dengan revisi UU PPN dan PPnBM ini merupakan permintaan DPR sebelumnya. Parlemen memberikan batas waktu satu pekan kepada masyarakat untuk memberikan masukan.
Ketua Panitia Kerja RUU PPN dan PPnBM Vera Febyanthy berharap publik ikut memberi masukan atas daftar inventarisasi masalah RUU itu sebelum dimulai pembahasan. "Jangan sampai setelah diketok ada lagi yang teriak, satu lagi ada yang nyanyi," kata Vera.
Bisnis Indonesia, Kamis, 04/09/2008
No comments:
Post a Comment