PMK-45/PMK.03/2009, PMK-46/PMK.04/2009 dan PMK-47/PMK.04/2009

PMK-45/PMK.03/2009

Tatacara Pengawasan, Pengadministrasian, Pembayaran Serta Pelunasab PPN dan/atau PPn BM atas Pengeluaran dan/atau Penyerahan BKP dan/atau JKP dari Kawasan Bebas ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean dan Pemasukan dan/atau Penyerahan BKP dan atau JKP dari Tempat Lain dalam daerah pabean ke kawasan Bebas

Pengertian:
Kawasan Bebas (Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas) adalah Suatu Kawasan yang berada dalam wilayah hokum NKRI yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari pengenaan Bea Masuk, PPN, PPn BM dan Cukai.

Tempat Lain dalam daerah Pabean adalah Daerah Pabean selain kawasan bebas dan tempat penimbunan berikat.

Endorsement adalah pernyataan mengetahui dari pejabat DJP atas pemasukan BKP dari tempat lain ke kawasan bebas berdasarkan penelitian formal atas dokumen yang terkait dengan pemasukan BKP tsb.



BKP yang dikeluarkan dari kawasan bebas ke tempat lain dalam daerah pabean

1. BKP yang dikeluarkan dari kawasan bebas ke tempat lain dalam daerah pabean terutang PPN.

2. Dalam hal BKP dimaksud dalam nomor 1 diatas, adalah BKP tergolong mewah maka terutang PPN dan PPn BM

3. Saat terutangnya BKP tersebut adalah pada saat BKP dikeluarkan dari kawasan bebas

4. Dasar Pengenaan Pajak atas PPN dan PPn BM adalah : Harga Jual atau Harga Jual Wajar (untuk penyerahan antar cabang, pemberian Cuma2, penyerahan pusat ke cabang/cabang ke pusat)

5. PPN dan PPN BM (apabila barang mewah) harus dipungut dan disetor ke kas Negara oleh orang yg mengeluarkan BKP menggunakan SSP.

Dengan cara pengisian SSP sebagai berikut:
- Kolom Nama dan NPWP diisi nama dan NPWP WP yang menerima BKP.
- Kolom penyetor diisi oleh NPWP orang yg mengeluarkan BKP
- Penyetoran dilakukan paling lama pada saat BKP dikeluarkan dari Kawasan bebas
- SSP harus dilampirkan invoice dan pemberitahuan pabean. Dan dipersamakan dengan FP standar. Dan merupakan pajak masukan yg dapat dikreditkan oleh PKP yang menerima BKP



Penyerahan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari kawasan bebas ke tempat lain dalam daerah pabean atau ke tempat penimbunan berikat

1. Penyerahan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari kawasan bebas ke tempat lain dalam daerah pabean atau ke tempat penimbunan berikat terutang PPN

2. Saat terutangnya PPN pada saat dimulainya pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau JKP di tempat lain atau di tempat penimbunan berikat.

Pengertian saat dimulainya pemanfaatan adalah mana yang terlebih dahulu dari peristiwa2 berikut:
- Saat BKP tidak berwujud dan/atau JKP tsb secara nyata digunakan oleh pihak yg memanfaatkan
- Saat harga perolehan BKP tidak berwujud dan/atau JKP tsb dinyatakan utang oleh pihak yg memanfaatkan
- Saat harga jual BKP tidak berwujud dan/atau JKP tsb ditagih oleh pihak yg menyerahkan
- Saat harga perolehan BKP tidak berwujud dan/atau JKP tsb dibayar baik sebagian atau keseluruhan oleh pihak yg memanfaatkan
- Apabila tidak diketahui saat dimulainya pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau JKP tsb maka ditentukan bahwa saat dimulainya pemanfaatan adalah tanggal ditandatanganinya kontrak

3. DPP atas PPN yang terutang adalah Harga Jual BKP tidak berwujud dan/atau Nilai Penggantian JKP

4. PPN yang terutang dipungut oleh orang yg memanfaatkan BKP tidak berwujud dan/atau JKP di tempat lain di daerah pabean atau di tempat penimbunan berikat pada saat dimulainya saat pemanfaatan BKP tidak berwujud dan atau JKP

5. PPN yang telah dipungut, disetor ke kas Negara oleh orang yg memanfaatkan BKP tidak berwujud dan/atau JKP di tempat lain di daerah pabean atau di tempat penimbunan berikat menggunakan SSP. Paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan terjadinya pemungutan

6. SSP yang dilampiri invoice atau kontrak dipersamakan dengan Faktur Pajak dan dapat dikreditkan oleh PKP yang memanfaatkan BKP tidak berwujud dan/atau JKP tersebut.

7. Apabila orang yg memanfaatkan BKP tidak berwujud dan/atau JKP bukan PKP, maka PPN yg telah disetor dengan SSP lembar ke-3 wajib dilaporkan ke KPP wilayah kerjanya paling lambat tanggal 20 pada bulan yg sama pada bulan penyetoran.



Pemasukan BKP dari tempat lain dalam daerah pabean atau dari tempat penimbunan berikat ke kawasan Bebas

1. Pemasukan BKP dari tempat lain dalam daerah pabean atau dari tempat penimbunan berikat ke kawasan Bebas melalui pabean atau Bandar udara ditunjuk, tidak dipungut PPN atau PPN dan atau PPn BM

· Atas pemasukan BKP tsb wajib dibuatkan faktur pajak standar , dan diberi cap “PPN TIDAK DIPUNGUT BERDASARKAN PP NOMOR 2 TAHUN 2009” oleh PKP yang melakukan penyerahan
· Pembuatan faktur pajak paling lama pada saat pengiriman BKP BKP ke kawasan bebas
· Fasilitas ini diberikan apabila BKP benar-benar telah masuk ke kawasan bebas yang dibuktikan dengan dokumen yang telah diberikan endorsement oleh DJP
· Dokumen yg harus disampaikan dalam rangka endorsement adalah fotokopi faktur pajak standar (lembar pembeli), fotokopi Bill Of Lading atau Airway Bill dan fotokopi Invoice dengan menunjukkan dokumen aslinya
· Apabila pengurusan endorsement dilakukan oleh pengusaha pengurusan jasa kepabeanan, dokumen harus dilampirkan surat kuasa yang melakukan pemasukan BKP ke kawasan bebas.
· Dalam hal pemberitahuan pabean tidak sesuai dokumen –dokumen yang harus dilampirkan dalam rangka endorsement, BKP tetap dikeluarkan tetapi PPN dan atau PPn BM tetap dipungut (tidak diberikan fasilitas).

2. Penyerahan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari tempat lain atau tempat penimbunan berikat ke kawasan bebas , tidak dipungut PPN.
· Atas penyerahan tsb wajib dibuatkan faktur pajak standar, dan diberi cap “PPN TIDAK DIPUNGUT BERDASARKAN PP NOMOR 2 TAHUN 2009” oleh PKP yang melakukan penyerahan.


Atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukan di kawasan bebas sejak berlakunya PMK ini, tidak dapat diterbitkan faktur pajak.

Berlaku mulai 1 April 2009

Dengan berlakunya PMK ini maka :
· KMK-583/KMK.03/2003
· KMK-393/KMK.03/2004
· PMK-16/PMK.03/2005
· PMK-61/PMK.03/2005 sebagaimana telah diubah dengan PMK-02/PMK.011/2009
Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.




- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - --

PMK-46/PMK.04/2009

TENTANG

PEMBERITAHUAN PABEANDALAM RANGKA PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANGKE DAN DARI KAWASAN YANG TELAH DITUNJUKSEBAGAI KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS
KLIK DISINI

- - - - - - - - - - - - - - - -- - - - -- - - - - -- - - --

PMK-47/PMK.04/2009

TENTANG

TATA CARA PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI KAWASANYANG TELAH DITUNJUK SEBAGAI KAWASAN

KLIK DISINI



FAKTUR PAJAK PPN (PAJAK PERTAMBAHAN NILAI)

a. Kewajiban membuat Faktur Pajak

Pasal 13 ayat (1) UU PPN 1984 menentukan : “Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a atau huruf f dan untuk setiap penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c.”

b. Pengertian Faktur Pajak.

Berdasarkan fungsinya, Faktur Pajak mengandung tiga macam pengertian, yaitu :
1) Dalam pasal 1 angka 23 UU PPN 1984 dirumuskan bahwa Faktur Pajak adalah bukti pungut-an pajak yang dibuat oleh PKP Penjual atau Pengusaha Jasa.
2) Ditinjau dari sisi pembeli atau penerima JKP, Faktur Pajak adalah bukti pembayaran pajak kepada PKP yang menyerahkan BKP atau JKP.
3) Dalam memori penjelasan Pasal 13 ayat (5) UU PPN 1984 antara lain ditegaskan bahwa Faktur Pajak adalah sarana untuk mengreditkan Pajak Masukan.

c. Jenis Faktur Pajak

Dalam penjelasan Pasal 13 ayat (1) UU PPN 1984, ditegaskan 3 (tiga) macam Faktur Pajak yaitu:

1) Faktur Pajak Standar

Dalam pasal 1 angka 3 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ/2006 tanggal 31 Oktober 2006 yang mengatur tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, Dan Tata Cara Pembetukan Faktur Pajak Standar menetapkan bahwa Faktur Pajak Standar adalah Faktur Pajak yang paling sedikit memuat keterangan tentang:
a) Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan BKP atau JKP
b) Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli BKP atau penerima JKP ;
c) Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga ;
d) Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut ;
e) Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut ;
f) Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak ; dan
g) Nama, jabatan, dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
Faktur Pajak Gabungan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2) UU PPN 1984 sebenar-nya adalah Faktur Pajak Standar yang memuat semua penyerahan BKP atau JKP dalam satu Masa Pajak kepada pembeli BKP atau penerima JKP yang sama..

2) Dokumen tertentu yang dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak di perlaku-kan sebagai Faktur Pajak Standar.

Berdasarkan Pasal 13 ayat (6) UU PPN 1984 jo Keputusan Direktur Jenderal Nomor 522/PJ/ 2000 tanggal 6 Desember 2000 dan Nomor KEP-312/PJ/2001 tanggal 23 April 2001 ditetap-kan dokumen-dokumen tertentu sebagai Faktur Pajak Standar, yaitu :
a) PIB dan SSP untuk impor BKP
b) PEB yang telah difiat muat Pejabat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dilampiri invoice
c) SPPB (Surat Perintah Pengiriman Barang) dari BULOG/DOOLOG
d) Paktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dibuat oleh Pertamina atas penyerahan BBM dan non BBM
e) Kuitansi atas penyerahan jasa telekomunikasi
f) Tiket, airway bil), delivery bill yang dibuat perusahaan jasa angkutan udara dalam negeri
g) SSP PPN atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud/JKP dari luar Daerah Pabean
h) Nota Penjualan Jasa atas penyerahan jasa kepelabuhanan
i) Tanda pembayaran atau kuitansi langganan listrik.
Dokumen-dokumen tersebut harus memuat sekurang-kurangnya :
a) Identitas yang berwenang menerbitkan dokumen ;
b) Nama, Alamat dan NPWP penerima dokumen sebagai wajib pajak dalam negeri;
c) Jumlah satuan apabila ada ;
d) Dasar Pengenaan Pajak ;
e) Jumlah pajak yang terutang.

3) Faktur Pajak Sederhana.

Dalam Pasal 13 ayat (7) UU PPN 1984 jo Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-524/KMK.04/2000 tanggal 6 Desember 2000 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Kepu-tusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-128/PJ/2004 tanggal 25 Agustus 2004 ditetapkan bah-wa PKP dapat membuat Faktur Pajak Sederhana atas penyerahan BKP atau JKP sepanjang meme-nuhi syarat sebagai berikut :
1) Faktur Pajak Sederhana boleh dibuat dalam hal :
a) penyerahan BKP atau JKP dilakukan kepada konsumen akhir ; atau
b) pembeli BKP/penerima JKP yang nama, alamat atau NPWP-nya tidak diketahui.
2) Membuat Faktur Pajak Sederhana tidak memerlukan ijin dari siapapun.
3) Faktur Pajak Sederhana dapat berupa bon kontan, faktur penjualan, karcis, kuitansi, segi kas register, dan sejenisnya.
4) dalam Faktur Pajak Sederhana minimal mencantumkan nama, alamat dan NPWP di Pembuat; Jenis dan kuantum BKP/JKP; harga.penyerahan termasuk PPN atau ditulis terpisah; tanggal pembuatan Faktur Pajak
5) Faktur Pajak Sederhana harus dibuat dalam rangkap dua, atau satu lembar dengan pertinggal berupa potongan/bagian dari Faktur Pajak Sederhana yang diserahkan kepada pembeli/ pene-rima jasa, seperti pada umumnya yang terjadi pada karcis.
6) Kelemahan Faktur Pajak Sederhana adalah Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan ;
7) Dibuat paling lambat pada saat penyerahan BKP/JKP, atau paling lambat pada saat pembayar-an dalam hal pembayaran diterima sebelum dilakukan penyerahan.

Penjelasan Lebih Lanjut ttg Faktur Pajak Sederhana - Klik disini



d. Pengadaan Formulir Faktur Pajak Standar

Tata cara pengadaan formulir Faktur Pajak Standar dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1) Setiap Faktur Pajak Standar wajib menggunakan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak.
2) Bentuk formulir Faktur Pajak Standar disesuaikan dengan kebutuhan administrasi PKP yang bersangkutan.
3) Formulir Faktur Pajak dapat dicetak dalam warna putih untuk seluruh lembar atau antara lembar kesatu, kedua dan ketiga dapat dicetak dalam warna yang berbeda-beda sesuai dengan keinginan atau keperluan PKP.
4) Faktur Pajak Standar dibuat minimal dalam rangkap 2 (dua) dengan peruntukan:
Lembar ke-1 : untuk diberikan kepada Pembeli BKP atau penerima JKP,
Lembar ke-2 : sebagai arsip PKP yang bersangkutan.
Dalam hal dibuat lembar ke-3, peruntukannya supaya disebutkan dengan jelas.
5) Faktur Pajak Standar dapat dibuat dengan menggunakan komputer sepanjang memenuhi sya-rat yang telah ditentukan.

e. Tata Cara Mengisi Faktur Pajak Standar

Adapun tata cara mengisi Faktur Pajak Standar, ditentukan sebagai berikut:

1) Penjelasan Pasal 13 ayat (5) UU PPN 1984, dan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Direk-tur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 menetapkan bahwa Faktur Pajak harus diisi de-ngan lengkap, benar dan jelas baik secara formal maupun materiel dan ditandatangani oleh pejabat perusahaan yang ditunjuk oleh PKP.
Faktur Pajak yang diisi tidak sesuai ketentuan ini menjadi Faktur Pajak cacat, sehingga PPN yang ada di dalamnya tidak dapat dikreditkan.
Namun, kiranya perlu disadari bahwa tidak mencantumkan keterangan NPPKP Pembeli dalam Faktur Pajak Standar tidak mengakibatkan Faktur Pajak Standar menjadi cacat. Hal ini disebabkan oleh :
a) berdasarkan Pasal 3A ayat (1) UU PPN 1984, sejak 1 Januari 2001, UU PPN 1984 tidak mengakui eksistensi NPPKP;
b) Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 pada dasarnya menetapkan bahwa keterangan yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 3 wajib diisi dengan lengkap, benar dan jelas oleh PKP. Pasal 1 angka 3 ini merupakan duplikasi dari materi Pasal 13 ayat (5) UU PPN 1984 yang menentukan syarat minimal keterangan yang wajib dicantumkan dalam Faktur Pajak Standar. Dalam rincian kete-rangan tersebut tidak tercantum keterangan tentang NPPKP Pembeli BKP atau Penerima JKP. Oleh karena itu, tanpa mencantumkan keterangan tentang NPPKP dimaksud, berarti Faktur Pajak Standar ini sudah diisi sesuai dengan Pasal 13 ayat (5) UU PPN 1984, sehingga tidak tergolong sebagai Faktur Pajak Standar cacat.

2) Sejak 1 Januari 2007, berdasarkan Pasal 6 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 ditetapkan bahwa PKP yang membuat Faktur Pajak Standar wajib menggunakan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak Standar sebagai berikut :

(1) Kode Faktur Pajak, terdiri atas:
- 2 (dua) digit Kode Transaksi;
- 1 (satu) digit Kode Status, yang meliputi: 0 untuk Normal, 1 untuk Penggantian
- 3 (tiga) digit Kode Cabang.
(2) Nomor Seri Faktur Pajak, terdiri atas:
- 2 (dua) digit tahun penerbitan;
- 8 (delapan) digit Nomor Urut.

3) Penandatanganan Faktur Pajak Standar.

a) PKP wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis nama pejabat yang berhak menanda-tangani Faktur Pajak Standar disertai dengan contoh tandatangannya kepada Kepala KPP paling lambat pada saat pejabat dimaksud mulai menandatangani Faktur Pajak Standar, menggunakan formulir yang telah ditetapkan.
b) Pejabat yang ditunjuk untuk menandatangani Faktur Pajak dapat lebih dari 1 (satu) orang.
c) Dalam hal PKP Orang Pribadi yang tidak memiliki struktur organisasi memberi kuasa kepada pihak lain untuk menandatangani Faktur Pajak Standar, maka dengan formulir khusus PKP wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Kepala KPP paling lambat pada saat pihak yang diberi kuasa mulai menandatangani Faktur Pajak Standar dan menyertakan Surat Kuasa Khusus.
d) Apabila terjadi perubahan pejabat atau kuasa yang berhak menandatangani Faktur Pajak Standar, maka PKP wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada KPP paling lambat pada saat pejabat atau kuasa pengganti mulai menandatangani Faktur Pajak.
4) Dalam hal nama BKP/JKP yang diserahkan tidak dapat ditampung dalam satu Faktur Pajak Standar, maka PKP dapat :
a) membuat lebih dari 1 (satu) formulir Faktur Pajak Standar yang masing-masing formulir menggunakan kode, nomor seri, dan tanggal Faktur Pajak Standar yang sama, serta ditan-datangani dan diberi keterangan nomor halaman pada setiap lembarnya, dan khusus untuk pengisian baris/kolom “Jumlah, Potongan Harga, Uang Muka yang telah diterima, Dasar Pengenaan Pajak, Pajak Pertambahan Nilai”, cukup diisi pada formulir terakhir; atau
b) membuat 1 (satu) Faktur Pajak Standar dengan menunjuk nomor dan tanggal Faktur Pen-jualan yang merupakan lampiran dari Faktur Pajak Standar tersebut.
5) Faktur Pajak yang terdapat kesalahan dalam pengisian supaya dibetulkan dengan cara dibuat Faktur Pajak Standar Pengganti. Faktur Pajak yang salah tersebut dilampirkan, dan pada Fak-tur Pajak Standar Pengganti dibubuhi cap yang mencantumkan Nomor Seri, Kode dan tanggal Faktur Pajak Standar yang diganti.
Pengisian Kode dan Nomor Seri serta tanggal Faktur Pajak Standar yang diganti dapat ditulis secara manual.
6) Membetulkan Faktur Pajak tidak boleh dilakukan dengan cara lain misalnya dengan coretan atau dihapus dengan cara apapun. Coretan tidak diperkenankan kecuali pada kolom dengan tanda asterix (*) dengan catatan “coret yang tidak perlu”, wajib dicoret.
7) Dalam hal Faktur Pajak Standar hilang, PKP yang berkepentingan dapat minta Faktur Pajak sebagai pengganti kepada PKP Penjual/Pengusaha jasa dengan tembusan kepada Kepala KPP tempat PKP Penjual/Pengusaha Jasa dan PKP Pembeli dikukuhkan dengan cara:
1) Atas dasar permintaan tersebut, PKP Penjual atau Pengusaha Jasa membuat fotokopi Faktur Pajak Standar yang disimpan, sebanyak 2 (dua) lembar,
2) Fotokopi tersebut kemudian dilegalisasi oleh KPP tempat PKP Penjual/Pengusaha Jasa dikukuhkan sebagai PKP. Setelah dilegalisasi, satu lembar disimpan oleh pejabat KPP dan lembar lainnya dikembalikan kepada PKP yang bersangkutan untuk diserahkan kepada PKP Pembeli/Penerima JKP.
8) Pengisian yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku akan berakibat Faktur Pajak terse-but tergolong sebagai Faktur Pajak Standar cacat.



f. Saat Pembuatan FakturPajak

Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER-159/PJ/2006, Faktur Pajak dapat wajib dibuat paling lambat :
1) pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan BKP dan/atau JKP dalam hal
pembayaran diterima setelah akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan BKP dan/atau JKP;
2) pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum akhir bulan ber-ikutnya setelah bulan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP;
3) pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penye-rahan BKP dan/atau sebelum penyerahan JKP;
4) pada saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan;
5) pada saat PKP rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendaharawan Pemerintah sebagai Pemungut PPN.

Faktur Pajak Gabungan dibuat paling lambat :
1) pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan BKP dan/atau JKP, dalam hal pemba-yaran baik sebagian maupun seluruhnya terjadi setelah berakhirnya bulan penyerahan BKP dan/atau JKP;
2) pada akhir bulan penyerahan BKP dan/atau JKP, dalam hal pembayaran baik sebagian atau seluruhnya terjadi sebelum berakhirnya bulan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP.
Pasal 13 Peraturan Direktur Jenderal Pajak dimaksud menetapkan bahwa Faktur Pajak Stan-dar yang dibuat telah melampaui jangka waktu 3 bulan sejak batas waktu pembuatannya, diper-lakukan tidak sebagai Faktur Pajak sehingga PKP dianggap belum membuat Faktur Pajak.

g. Penyerahan BKP/JKP yang pembayarannya menggunakan valuta asing

Dalam hal terjadi penyerahan BKP/JKP yang pembayarannya menggunakan valuta asing, berdasarkan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 diatur sebagai berikut :
(1) Apabila pembayaran atau Harga Jual atau Penggantian dilakukan dengan mempergunakan mata uang asing, maka penghitungan besarnya Pajak yang terutang harus dikonversi ke dalam mata uang rupiah dengan mempergunakan kurs yang berlaku menurut Keputusan Menteri Keuangan pada saat pembuatan Faktur Pajak.
(2) Dalam hal pembayaran atau Harga Jual atau Penggantian yang dilakukan sehubungan dengan pelaksanaan Pasal 16A Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai mem-pergunakan mata uang asing, maka besarnya Pajak yang terutang harus dikonversi ke dalam mata uang rupiah dengan mempergunakan kurs yang berlaku menurut Ke-putusan Menteri Keuangan pada saat dilakukan pembayaran oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
Sejak 1 Januari 2007, apabila terjadi perubahan nilai kurs pada saat pembayaran sehingga berbeda dengan nilai kurs yang digunakan dalam Faktur Pajak atas penyerahan BKP atau JKP kepada Pemungut PPN, maka PKP Rekanan wajib melakukan dua macam kegiatan yaitu :
1) Menyesuaikan nilai kurs dalam Faktur Pajak dengan nilai kurs pada saat pembayaran dengan cara membuat Faktur Pajak Standar Pengganti.
2) Melakukan pembetulan SPT Masa PPN yang terkait



h. Sanksi

1) Berdasarkan Pasal 14 ayat (4) UU KUP ditetapkan bahwa Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP tetapi tidak membuat Faktur Pajak atau tidak mengisi selengkapnya, dikenakan sanksi berupa denda administrasi sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
2) Berdasaran Pasal 39A UU KUP, bagi setiap orang yang:
a) membuat atau menggunakan Faktur Pajak tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau
b) belum dikukuhkan sebagai PKP dengan sengaja membuat Faktur Pajak,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit dua kali jumlah pajak dalam Faktur Pajak.

i. Nota Retur

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 596/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995 sebagai peraturan pelaksanaan Pasal 5A UU PPN 1984, mengatur Nota Retur sebagai berikut :
1) Nota Retur dibuat apabila terjadi pengembalian BKP, kecuali BKP tersebut diganti BKP dari jenis yang sama, tipenya sama, jumlah dan harganya sama oleh PKP Pen-jual.
2) Nota retur berfungsi mengurangi Pajak Masukan PKP Pembeli dalam SPT Masa PPN dalam Masa Pajak dibuat Nota Retur, mengurangi Pajak Keluaran PKP Penjual dalam SPT Masa PPN dalam Masa Pajak diterima Nota Retur.
3) Bentuk Nota Retur dapat dibuat sesuai dengan kebutuhan administrasi PKP, tetapi keterangan yang tercantum di dalamnya harus memenuhi ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan ini, yaitu :
a) Nomor Urut ;
b) Nomor dan Tanggal Faktur Pajak dari Barang Kena Pajak yang dikembalikan ;
c) Nama, alamat dan NPWP pembeli ;
d) Nama, alamat, NPWP dan tanggal pengukuhan PKP yang menerbitkan Faktur Pajak ;
e) Macam, jenis kuantum, dan Harga Jual Barang Kena Pajak yang dikembalikan ;
f) PPN atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan ;
g) PPnBM atas Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dikembalikan ;
h) Tanggal pembuatan Nota Retur ;
i) Tanda tangan pembeli.
4) Yang membuat Nota Retur adalah Pembeli.


KETENTUAN DIATAS MERUPAKAN KETENTUAN SESUAI UU PPN LAMA (SEBELUM UU NO 42 TAHUN 2009)

KETENTUAN BARU MENGENAI FAKTUR PAJAK SESUAI UU PPN BARU NO 42 TAHUN 2009 (berlaku mulai 1 April 2010) dapat KLIK DISINI


Jenis Harta Berwujud / Kelompok Aktiva

Untuk membantu temen-temen yang akan melakukan penghitungan penyusutan aktiva, berikut kami kami berikan daftar kelompok aktiva - yang berlaku untuk tahun pajak 2008 dan sebelumnya, sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor 520/KMK.04/2000 tentang Jenis-jenis Harta Yang Termasuk Dalam Kelompok Harta Berwujud Bukan Bangunan Untuk Keperluan Penyusutan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan nomor KMK.138/KMK.03/2002.


Untuk Mulai tahun pajak 2009 telah keluar Jenis Harta/Kelompok Penyusutan baru sesuai PMK-96/PMK.03/2009 - klik disini






Jenis-jenis Harta Berwujud Yang Termasuk dalam Kelompok I

1 Semua jenis usaha :
a. Mebel dan peralatan dari kayu atau rotan termasuk meja, bangku, kursi, almari dan sejenisnya yang bukan bagian dari bangunan.
b. Mesin kantor seperti mesin tik, mesin hitung, duplikator, mesin fotokopi, mesin akunting/pembukuan, komputer, printer, scanner dan sejenisnya.
c. Perlengkapan lainnya seperti amplifier, tape/cassette, video recorder, televisi dan sejenisnya.
d. Sepeda motor, sepeda dan becak.
e. Alat perlengkapan khusus (tools) bagi industri/jasa yang bersangkutan.
f. Alat dapur untuk memasak, makanan dan minuman.
g. Dies, jigs, dan mould.

2 Pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan :
Semua alat yang digerakkan bukan dengan mesin

3 Industri makanan dan minuman :
Mesin ringan yang dapat dipindah-pindahkan seperti, huller, pemecah kulit, penyosoh, pengering, pallet, dan sejenisnya.

4 Perhubungan pergudangan dan komunikasi :
Mobil taksi, bus dan truk yang digunakan sebagai angkutan umum.

5 Industri semi konduktor :
Falsh memory tester, writer machine, biporar test system, elimination (PE8-1), pose checker.

Tambahan Informasi :

- Atas biaya perolehan atau pembelian telepon seluler yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) melalui penyusutan aktiva tetap kelompok, dan atas biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan telepon seluler tersebut dapat dibebankan sebagai biaya rutin perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen).

-Atas pengeluaran/biaya perolehan dan upgrade perangkat lunak komputer berupa program aplikasi khusus (program yang dirancang khusus untuk keperluan otomatisasi sistem administrasi, pekerjaan atau kegiatan usaha tertentu, seperti di bidang perbankan, pasar modal, perhotelan, rumah sakit atau penerbangan) yang dimiliki dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan umum Undang-undang Pajak Penghasilan, pembebanannya dilakukan melalui amortisasi harta tak berwujud (Kelompok-1)




Jenis-jenis Harta Berwujud Yang Termasuk dalam Kelompok II

Semua jenis usaha
a. Mabel dan peralatan dari logam temasuk meja, bangku, kursi, almari dan sejenisnya yang bukan merupakan bagian dari bangunan. Alat pengatur udara seperti AC, kipas angin dan sejenisnya.
b. Mobil, bus, truk speed boat dan sejenisnya.
c. Container dan sejenisnya.

2 Pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan
a. Mesin pertanian / perkebunan seperti traktor dan mesin bajak, penggaruk, penanaman, penebar benih dan sejenisnya.
b. Mesin yang mengolah atau menghasilkan atau memproduksi bahan atau barang pertanian, kehutanan, perkebunan, dan perikanan.

3 Industri makanan dan minuman
a. Mesin yang mengolah produk asal binatang, unggas dan perikanan, misalnya pabrik susu, pengalengan ikan .
b. Mesin yang mengolah produk nabati, misalnya mesin minyak kelapa, magarine, penggilingan kopi, kembang gula, mesin pengolah biji-bijian seperti penggilingan beras, gandum, tapioka.
c. Mesin yang menghasilkan / memproduksi minuman dan bahan-bahan minuman segala jenis.
d. Mesin yang menghasilkan / memproduksi bahan-bahan makanan dan makanan segala jenis.

4 Industri mesin
Mesin yang menghasilkan / memproduksi mesin ringan (misalnya mesin jahit, pompa air).

5 Perkayuan
Mesin dan peralatan penebangan kayu.

6 Konstruksi
Peralatan yang dipergunakan seperti truk berat, dump truck, crane buldozer dan sejenisnya.

7 Perhubungan, pergudangan dan komunikasi
a. Truck kerja untuk pengangkutan dan bongkar muat, truck peron, truck ngangkang, dan sejenisnya;
b. Kapal penumpang, kapal barang, kapal khusus dibuat untuk pengangkutan barang tertentu (misalnya gandum, batu - batuan, biji tambang dan sebagainya) termasuk kapal pendingin, kapal tangki, kapal penangkap ikan dan sejenisnya, yang mempunyai berat sampai dengan 100 DWT;
c. Kapal yang dibuat khusus untuk menghela atau mendorong kapal-kapal suar, kapal pemadam kebakaran, kapal keruk, keran terapung dan sejenisnya yang mempunyai berat sampai dengan 100 DWT;
d. Perahu layar pakai atau tanpa motor yang mempunyai berat sampai dengan 250 DWT;
e. Kapal balon.

8 Telekomunikasi
a. Perangkat pesawat telepon;
b. Pesawat telegraf termasuk pesawat pengiriman dan penerimaan radio telegraf dan radio telepon.

9 Industri semi konduktor
Auto frame loader, automatic logic handler, baking oven, ball shear tester, bipolar test handler (automatic), cleaning machine, coating machine, curing oven, cutting press, dambar cut machine, dicer, die bonder, die shear test, dynamic burn-in system oven, dynamic test handler, eliminator (PGE-01), full automatic handler, full automatic mark, hand maker, individual mark, inserter remover machine, laser marker (FUM A-01), logic test system, marker (mark), memory test system, molding, mounter, MPS automatic, MPS manual, O/S tester manual, pass oven, pose checker, re-form machine, SMD stocker, taping machine, tiebar cut press, trimming/forming machine, wire bonder, wire pull tester.

Informasi Tambahan :

-Atas biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan bus, minibus, atau yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk antar jemput para pegawai, dapat dibebankan seluruhnya sebagai biaya perusahaan melalui penyusutan aktiva tetap kelompok II, dan atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan tersebut dapat dibebankan seluruhnya sebagai biaya rutin perusahaan.

- Atas biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan sedan atau yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) melalui penyusutan aktiva tetap kelompok II , dan atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan tersebut dapat dibebankan sebagai biaya rutin perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen).



Jenis-jenis Harta Berwujud Yang Termasuk dalam Kelompok III

1 Pertambangan selain minyak dan gas
Mesin-mesin yang dipakai dalam bidang pertambangan, termasuk mesin - mesin yang mengolah produk pelikan.

2 Permintalan, pertenunan dan pencelupan
a. Mesin yang mengolah / menghasilkan produk-produk tekstil (misalnya kain katun, sutra, serat-serat buatan, wol dan bulu hewan lainnya, lena rami, permadani, kain-kain bulu, tule).
b. Mesin untuk yang preparation, bleaching, dyeing, printing, finishing, texturing, packaging dan sejenisnya.

3 Perkayuan
a. Mesin yang mengolah / menghasilkan produk - produk kayu, barang-barang dari jerami, rumput dan bahan anyaman lainnya.
b. Mesin dan peralatan penggergajian kayu.

4 Industri kimia
a. Mesin peralatan yang mengolah / menghasilkan produk industri kimia dan industri yang ada hubungannya dengan industri kimia (misalnya bahan kimia anorganis, persenyawaan organis dan anorganis dan logam mulia, elemen radio aktif, isotop, bahan kimia organis, produk farmasi, pupuk, obat celup, obat pewarna, cat, pernis, minyak eteris dan resinoida-resinonida wangi-wangian, obat kecantikan dan obat rias, sabun, detergent dan bahan organis pembersih lainnya, zat albumina, perekat, bahan peledak, produk pirotehnik, korek api, alloy piroforis, barang fotografi dan sinematografi.
b. Mesin yang mengolah / menghasilkan produk industri lainnya (misalnya damar tiruan, bahan plastik, ester dan eter dari selulosa, karet sintetis, karet tiruan, kulit samak, jangat dan kulit mentah).

5 Industri mesin
Mesin yang menghasilkan/memproduksi mesin menengah dan berat (misalnya mesin mobil, mesin kapal).

6 Perhubungan, dan komunikasi
a. Kapal penumpang, kapal barang, kapal khusus dibuat untuk pengangkutan barang-barang tertentu (misalnya gandum, batu-batuan, biji tambang dan sejenisnya) termasuk kapal pendingin dan kapal tangki, kapal penangkapan ikan dan sejenisnya, yang mempunyai berat di atas 100 DWT sampai dengan 1.000 DWT.
b. Kapal dibuat khusus untuk mengela atau mendorong kapal, kapal suar, kapal pemadam kebakaran, kapal keruk, keran terapung dan sejenisnya, yang mempunyai berat di atas 100 DWT sampai dengan 1.000 DWT.
c. Dok terapung.
d. Perahu layar pakai atau tanpa motor yang mempunyai berat di atas 250 DWT.
e. Pesawat terbang dan helikopter-helikopter segala jenis.

7 Telekomunikasi
Perangkat radio navigasi, radar dan kendali jarak jauh.



Jenis-jenis Harta Berwujud Yang Termasuk dalam Kelompok IV

1 Konstruksi
Mesin berat untuk konstruksi

2 Perhubungan dan komunikasi
a. Lokomotif uap dan tender atas rel.
b. Lokomotif listrik atas rel, dijalankan dengan batere atau dengan tenaga listrik dari sumber luar.
c. Lokomotif atas rel lainnya.
d. Kereta, gerbong penumpang dan barang, termasuk kontainer khusus dibuat dan diperlengkapi untuk ditarik dengan satu alat atau beberapa alat pengangkutan.
e. Kapal penumpang, kapal barang, kapal khusus dibuat untuk pengangkutan barang-barang tertentu (misalnya gandum, batu-batuan, biji tambang dan sejenisnya) termasuk kapal pendingin dan kapal tangki, kapal penangkap ikan dan sejenisnya, yang mempunyai berat di atas 1.000 DWT.
f. Kapal dibuat khusus untuk menghela atau mendorong kapal, kapal suar, kapal pemadam kebakaran, kapal keruk, keran-keran terapung dan sebagainya, yang mempunyai berat di atas 1.000 DWT.
g. Dok-dok terapung.



PERHATIAN :
TELAH KELUAR PMK-96/PMK.03/2009 TENTANGJENIS-JENIS HARTA YANG TERMASUK DALAM KELOMPOK HARTABERWUJUD BUKAN BANGUNAN UNTUK KEPERLUAN PENYUSUTAN - BERLAKU MULAI TAHUN PAJAK 2009
Pada saat berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 520/KMK.04/2000 tentang Jenis-jenis Harta Yang Termasuk Dalam Kelompok Harta Berwujud Bukan Bangunan Untuk Keperluan Penyusutan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan nomor KMK.138/KMK.03/2002, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku

Pengisian SPT Tahunan PPh Badan 2008

TRAINING PENGISIAN SPT TAHUNAN PPh BADAN 2008


Waktu :
Sabtu, 18 April 2009
Jam 09.00 wibb s.d 17.00 wibb


Tempat :
Hotel Grand Kemang
Jl Kemang Raya 2H, Kebayoran Baru
Jakarta - 12730


Materi :
- Ketentuan Formal SPT Tahunan PPh Badan
- Rekonsiliasi Laporan Keuangan Komersial dan Fiskal
- Ekualisasi Pajak Penghasilan dengan Pajak lain
- Pengisian SPT Tahunan PPh Badan 2008
- Simulasi Pengisian SPT Tahunan Badan 2008
- Pemeriksaan Pajak

Biaya :

hanya Rp 1.100.000,-


Tempat Terbatas.......!!!!!!

Segera Konfirmasikan Kehadiran Anda


RESERVATION :

021-98265288 / 96323283 (Tuti/Lina)
Fax :
021-7946480

Stimulus fiskal PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah

Untuk siapa dan sektor usaha apa ?

Diberikan kepada pekerja yang bekerja pada pemberi kerja yang berusaha pada:
- kategori usaha pertanian termasuk perkebunan dan peternakan, perburuan dan kehutanan
- kategori usaha perikanan,
- kategori usaha industri pengolahan
(detil Sektor usaha yang diberikan stimulus - klik disini)





Berapa besarnya yang ditanggung ?

1. Pekerja (yang memiliki NPWP) yang bekerja pada pemberi kerja yang berusaha pada kategori usaha tertentu, dengan jumlah penghasilan bruto diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak dan tidak lebih dari Rp 5 juta dalam satu bulan:
berlaku penuh sejak masa Pebruari 2009 s.d Desember 2009.
Contoh : Penghasilan pekerja di bulan Pebruari 2009 adalah sebesar Rp 5juta dan PPh 21 terutang sebesar Rp 153.750,-Maka jumlah yang wajib dibayarkan oleh pemberi kerja kepada pekerja adalah sebesar Rp 5.153.750,- (Rp 5.000.000,- + Rp 153.750,-)

2. Pekerja (yang tidak memiliki NPWP) yang bekerja pada pemberi kerja yang berusaha pada kategori usaha tertentu, dengan jumlah penghasilan bruto diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak dan tidak lebih dari Rp 5 juta dalam satu bulan:
- untuk masa Pajak Pebruari 2009 s.d Juni 2009 berlaku ketentuan sebagai berikut :
untuk pekerja yg tidak memiliki NPWP dikenakan tarif sebesar 20% lebih tinggi dari tarif yang berlaku (misal : tarif normal 5%, maka tarif untuk pekerja yg tidak ber-NPWP adalah sebesar 6% (5% x 120%))
PPh pasal 21 yang ditanggung pemerintah yang diterima pekerja adalah sebesar pajak terutang berdasarkan tarif sesuai UU PPh dan tidak termasuk kenaikan tarif pajak sebesar 20%.
Sedangkan Kenaikan PPh Ps 21 sebesar 20% akan dipotong pemberi kerja dan disetor ke kas negara.
Contoh untuk pekerja yg tidak memiliki NPWP, masa Pebruari s.d Juni 2009 : lihat lampiran PER-26/PJ/2009 - klik disini

- untuk masa pajak Juli 2009 s.d Desember 2009, berlaku ketentuan:
a. bagi pekerja yang tidak memiliki NPWP, atas PPh Pasal 21 nya Tidak Ditanggung Pemerintah alias tetap dipotong seperti biasa (disetor ke Negara)
b. PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah hanya diberikan sejak masa pajak, setelah pekerja yang bersangkutan memiliki NPWP


Bagaimana pelaksanaannya?

PPh Ps 21 ditanggung pemerintah wajib dibayarkan secara tunai pada saat pembayaran penghasilan oleh pemberi kerja kepada pekerja sebesar PPh Ps 21 yang terutang.
Dalam hal pelaksanan kewajiban pemotongan PPh ps 21 atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan pemberi kerja:
a. memberikan tunjangan Pph ps 21 kepada pekerja atau;
b. Menanggung PPh Ps 21 yang terutang atas penghasilan pekerja;
PPh ps 21 yang ditunjang atau ditanggung tersebut tetap harus diberikan kepada pekerja yang mendapat PPh ps 21 yang ditanggung pemerintah

Contoh:

Penghasilam pekerja di bulan Pebruari 2009 adalah sebesar Rp 4,5juta dan PPh 21 terutang sebesar Rp 136.750,-
Maka jumlah yang wajib dibayarkan oleh pemberi kerja kepada pekerja adalah sebesar Rp 4.636.750,- (Rp 4.500.000,- + Rp 136.750,-)

Contoh lain dapat dilihat di Lampiran I PER-22/PJ/2009 (download disini)


Bagaimana pelaporannya?

1. Pemberi kerja wajib menyampaikan realisasi pembayaran PPh Ps 21 DTP kepada kepala KPP dengan menggunkan formulir Lampiran II PER-22/PJ/2009 (download disini)

2. atas PPh 21 DTP tersebut wajib dibuatkan SSP yang dibubuhi cap matau tulisan “PPh Ps 21 DTP eks PMK-43/PMK.03/2009” oleh pemberi kerja (Tidak perlu disetor)

3. Formulir no.1 (Realisasi pembayaran) dan no.2 (SSP DTP) dilampirkan dalam SPT Masa PPh Ps 21


Kapan berlakunya

Sejak tanggal 3 Maret 2009 s.d 31 Desember 2009

Dasar Hukum :
1. Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK-43/PMK.03/2009 , 03-03-2009 DOWNLOAD
2. Peraturan Dirjen Pajak nomor PER-22/PJ/2009, 04-03-2009 DOWNLOAD
3. Peraturan Dirjen Pajak nomor PER-26/PJ/2009, 18-03-2009 Tentang Perubahan PER-22/PJ/2009 DOWNLOAD
4. Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK-49/PMK.03/2009, 18-03-2009 Tentang Perubahan Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK-43/PMK.03/2009




Saat dan Tempat Terutang PPN (Pajak Pertambahan Nilai)



a. Saat Pajak Terutang.

Untuk menentukan saat PKP melaksanakan kewajiban membayar pajak, penentuan saat pajak terutang menjadi sangat relevan. Tanpa diketahui saat pajak terutang, tidak mungkin ditentukan bilamana PKP wajib memenuhi kewajiban melunasi utang pajaknya.

Untuk menentukan saat pajak terutang sangat erat kaitannya dengan penentuan saat tim-bulnya utang pajak. Sebagai pajak objektif, PPN menganut ajaran materiil timbulnya utang pajak yaitu utang pajak timbul karena undang-undang. Dengan kata lain dapat di-rumuskan bahwa utang pajak timbul karena adanya tatbestand yang diatur dalam undang-undang, yaitu sejak adanya suatu ke-adaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak. Dengan rumusan yang lebih sederhana, dapat ditentukan bahwa utang PPN mulai timbul sejak adanya objek pajak. Ajaran materiil timbulnya utang pajak dianut oleh suatu jenis pajak yang mekanisme pemungutan pajak-nya menggunakan self assessment system. Mekanisme pemungutan PPN menggunakan sistem ini, sehingga timbulnya utang pajak ditentukan berdasarkan ajaran materiil.

Dari ketentuan Pasal 11 UU PPN 1984 dapat disimpulkan bahwa pajak terutang:
1) pada saat penyerahan BKP atau JKP
2) pada saat impor BKP
3) pada saat dimulai pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
4) pada saat pembayaran dalam hal :
a) pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau JKP
b) pembayaran dilakukan sebelum dimulai pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
5) pada saat lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.




b. Tempat Pajak Terutang

Berdasarkan Pasal 12 UU PPN 1984 ditetapkan bahwa pajak terutang di :
1) tempat tinggal atau tempat kedudukan ; dan
2) tempat kegiatan usaha dilakukan, atau
3) tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak ;
4) tempat BKP dimasukkan, dalam hal impor ;
5) tempat orang pribadi atau badan terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam hal pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean ; atau
6) satu tempat atau lebih yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai tempat pemusatan pajak terutang atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak.

Ketentuan Pasal 12 UU PPN 1984 tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000, yang menetapkan bahwa :
1) Tempat pajak terutang untuk Penyerahan di dalam Daerah Pabean.
Pajak terutang di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha dilakukan, yaitu di tempat pengusaha dikukuhkan atau seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
2) Tempat pajak terutang untuk impor BKP adalah ditempat BKP dimasukkan ke dalam Daerah Pabean.
3) Tempat pajak terutang untuk pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam daerah Pabean adalah di tempat orang pribadi atau badan yang memanfaatkan, terdaftar sebagai Wajib Pajak.
4) Tempat pajak terutang untuk kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak di dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan adalah di tempat bangunan didirikan.
5) Tempat pajak terutang bagi PKP yang dikukuhkan di KPP Wajib Pajak Besar, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-335/PJ/2002 tanggal 1 Juli 2002 dipusatkan di KPP Wajib Pajak Besar yang menerbitkan surat pengukuhan.
6) Tempat pajak terutang ditentukan lain oleh Direktur Jenderal Pajak atas permintaan tertulis dari wajib pajak atau secara jabatan.


a) Berdasarkan ketentuan ini maka dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-525/PJ./2000 tanggal 6 Desember 2000 ditetapkan bahwa PKP orang pribadi yang mem-punyai tempat tinggal yang tidak sama dengan tempat kegiatan usahanya, terutang pajak hanya ditempat kegiatan usahanya, sepanjang PKP tersebut tidak melakukan kegiatan usa-ha apapun di tempat tinggalnya.

b) Dalam hal PKP memiliki lebih dari satu tempat kegiatan usaha dalam wilayah satu KPP, berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-02/PJ.9/1998 tanggal 4 Mei 1998 ditegaskan pengukuhannya disatukan di kantor pusatnya.

c) Beberapa PKP tertentu ditetapkan bahwa pada dasarnya terutang di tempat kantor pusatnya dikukuhkan sebagai PKP dengan beberapa pengecualian :
(1) Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-394/PJ./2003 tanggal 31 Desember 2003 yang telah diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-73/PJ/2004 tanggal 14 April 2004, tentang Tempat Terutangnya Pajak Bagi PKP Yang Dikukuhkan di KPP Wajib Pajak BUMN ditetapkan sebagai berikut :
(a) Wajib Pajak yang terdaftar pada KPP yang mengelola Wajib Pajak BUMN yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP dan atau melakukan ekspor BKP, wajib dikukuhkan sebagai PKP di KPP dimaksud dan pajak terutang di tempat PKP dikukuhkan. Dikecualikan dari ketentuan ini bagi PKP BUMN yang :
i. melaksanakan proyek atau tender dari Pemerintah daerah atau panitia pemberi proyek atau tender di daerah tertentu yang mengharuskan PKP peserta proyek atau tender dikukuhkan sebagai PKP di KPP lokasi tempat kegiatan usaha ; atau
ii. mempunyai lebih dari 200 (dua ratus) tempat kegiatan usaha termasuk antara lain cabang, lokasi usaha, perwakilan, unit pemasaran dan sejenisnya termasuk distrik, dan tidak memiliki Sistem Informasi Akuntasi yang terhubung antara pusat dengan cabang maupun antar cabang (on line).
Bagi BUMN yang tidak melakukan pemusatan tempat pajak terutang dimaksud, wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Kepala KPP BUMN.
(b) Bagi BUMN yang sudah terlanjur dikukuhkan sebagai PKP oleh KPP selain yang mengelola Wajib Pajak BUMN, maka KPP ini wajib melakukan pencabutan Pe-ngukuhan PKP tersebut paling lambat tanggal 31 Januari 2004.
(c) Dalam hal telah dilakukan pencabutan Pengukuhan PKP yang dilakukan oleh KPP selain yang mengelola Wajib Pajak BUMN, tetapi PKP yang bersangkutan belum melaporkan seluruh kegiatan usahanya secara terpusat untuk Masa Pajak Januari 2004 sampai dengan Agustus 2004 di KPP BUMN, maka PKP tempat pemusatan wajib melakukan pembetulan SPT Masa PPN tersebut dengan menggabungkan kegiatan seluruh ccabang yang pengukuh-annya telah dicabut.
(d) PKP yang melakukan pemusatan tempat PPN terutang tetapi pengukuhan-nya di KPP selain KPP BUMN belum dicabut, tidak wajib melaporkan ke-giatan usaha ke KPP BUMN dengan syarat :
i. masih menyampaikan SPT Masa PPN di KPP selain KPP BUMN ;
ii. menyampaikman pemberitahuan tertulis kepada Kepala KPP BUMN bahwa telah menyampaikan SPT Masa PPN di KPP selain KPP BUMN.
(e) PKP BUMN yang dibebani kewajiban untuk melakukan pemusatan PPN terutang di KPP BUMN, wajib melaksanakannya paling lambat tanggal 31 Agustus 2004.
(f) Bagi PKP BUMN yang tidak melaksanakan kewajiban pemusatan tempat PPN terutang yang dibebankan kepadanya, dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Keputusan Direktur Jenderal tersebut diatas secara tidak langsung meng-anulir salah satu diktum Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-515/ KEP/2000 sebagaimana telah diubah dengan Nomor KEP-337/PJ./2002 tanggal 2 Juli 2002, khusus bagian yang mengatur tentang tempat pajak terutang bagi BUMN.
(2) Badan Usaha Milik Daerah
bagi Wajib Pajak BUMD yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP ter-utang pajak dan wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP di KPP di wilayah kerjanya.
(3) Wajib Pajak Penanaman Modal Asing
Wajib Pajak Penanaman Modal Asing dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu :
(a) Wajib Pajak Penanaman Modal Asing yang tidak “masuk bursa”, yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP di KPP Penamaman Modal Asing sebagai tempat pajak terutang ;
(b) Khusus bagi Wajib Pajak PMA yang berkedudukan di Kawasan Berikat Pulau Batam, Kawasan Pulau Bintan, dan kawasan Pulau Karimun, atas permohonan Wajib Pajak diberi kemudahan untuk mendaftarkan diri dan melaporkan usahanya pada KPP setempat sebagai tempat pajak terutang.
(4) Wajib Pajak Badan dan Orang Asing (BADORA) untuk seluruh Wajib Pajak Badan (BUT) dan Orang Asing yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP di KPP BADORA sebagai tempat pajak terutang ;
(5) seluruh wajib pajak yang telah mendapat ijin emisi saham dari Badan Pengawas Pasar Modal yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP di KPP Masuk Bursa, kecuali Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai PKP di KPP tempat Wajib Pajak ini berkedudukan ;
(6) Wajib Pajak besar sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-263/PJ/2002 tanggal 8 Mei 2002 yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP, pajak terutang dan wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP di KPP Wajib Pajak Besar.



KETENTUAN DIATAS TELAH BERUBAH SEIRING DENGAN ADANYA PERUBAHAN UU PPN NO.42 TAHUN 2009, YANG MULAI BERLAKU 1 APRIL 2010


SILAKAN BACA : SAAT TERUTANG PPN SESUAI PER-4/PJ/2010 dan UU NO.42 TAHUN 2009




Penghasilan yang tidak termasuk sebagai objek pajak dan tidak dikenakan Pajak penghasilan



Penghasilan yang tidak termasuk sebagai objek pajak dan tidak dikenakan Pajak penghasilan,
diatur dalam Psl 4 ayat (3) UU No. 36 Tahun 2008, yaitu :

a.1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;

2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, atau badan pendidikan, atau badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

Sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan ojek pajak, sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. Zakat yang diterima oleh badan amil zakat, atau lembaga amil zakat, yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak serta sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama lainnya yang diakui di Indonesia yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak sama seperti bantuan atau sumbangan. Yang dimaksud dengan zakat adalah zakat sebagaimana dimaksud Undang-Undang yang mengatur mengenai zakat.

Hubungan usaha antara pihak yang memberi dengan pihak yang menerima dapat terjadi, misalnya PT A sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan utamanya diproduksi oleh PT B. Apabila PT B, memberikan sumbangan bahan baku kepada PT , maka sumbangan bahan baku yang diterima oleh PT A, merupakan objek pajak.

Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak, apabila diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat. dan badan keagamaan, atau badan pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan , sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan..

Ditambahkan disini, yang dimaksud dengan :

- Badan keagamaan adalah badan termasuk yayasan yang kegiatannya semata-mata mengurus tempat ibadah dan/atau menyelenggarakan kegiatan dibidang keagamaan, yang tidak mencari keuntungan ;
- Badan pendidikan adalah badan termasuk yayasan yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan :
a. Pemeliharaan kesehatan dan /atau;
b. Pemeliharaan orang lanjut usia (panti jompo), dan/atau
c. Pemeliharaan anak yatim piatu, anak atau orang terlantar, anak dan/atau orang cacat, dan/atau ;
d. santunan dan/atau pertolongan kepada korban bencana alam, kecelakaan, dan sejenisnya, dan/atau
e. pemberian bea siswa ;
f. kegiatan sosialnya.
Sepanjang badan sosial tersebut tidak mencari keuntungan.
- Pengusaha kecil termasuk koperasi adalah pengusaha yang pada saat akan menerima hibah, jumlah nilai aktivanya tidak termasuk tanah dan/atau bangunan tidak lebih Rp 600.000.000.-(enam ratus juta rupiah).

Dikemukakan lebih lanjut bahwa harta hibahan yang diterima badan-badan tsb diatas, dan pengusaha kecil termasuk koperasi, tidak termasuk sebagai objek pajak, sepanjang antara pemberi hibah dengan penerima hibah tersebut, tidak ada hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan. Harta hibahan dimaksud dibukukan, oleh penerima hibah sesuai dengan nilai sisa buku harta hibahan.
Selanjutnya dalam keputusan Direktur Jenderal Pajak No. 11/PJ/1995, Tgl 1 Pebruari 1995, Penetapan Dasar Nilai Bagi yang Menerima Pengalihan Harta yang diperoleh dari Bantuan, Sumbangan, Hibahan, dan Warisan, yang memenuhi syarat bukan sebagai objek pajak, dari WP tidak menyelenggarakan pembukuan, dikemukakan bahwa :
- Apabila nilai atau perolehan harta, bagi yang mengalihkan harta tersebut, diketahui, maka nilai perolehan bagi yang menerima pengalihan tersebut, adalah sama dengan nilai atau harga perolehan harta tsb, bagi yg mengalihkan.
- Apabila tidak diketahui, namun tahun perolehannya diketahui, maka nilai perolehan bagi yang menerima pengalihan harta tersebut adalah ;
a. apabila tanah dan/atau bangunan tersebut diperoleh yang mengalihkan dalam tahun 1986, atau sebelumnya, sama dengan besarnya NJOP, yang tercantum dalam SPPT PBB tahun pajak 1986, atau ;
b. apabila diperoleh sesudah tahun 1986, sama besarnya dengan NJOP yang tercantum dalam SPPT PBB tahun pajak diperolehnya harta tersebut, bagi yang mengalihkan, atau ;
c. jika SPPT PBB tidak ada, berdasarkan surat keterangan dari Kepala KPPBB
- Apabila nilai atau harga perolehan dan tahun perolehan bagi yg mengalihkan, harta berupa tanah dan/atau bangunan tidakdiketahui, maka nilai perolehan bagi yang menerima harta tersebut adalah sama besarnya, dengan NJOP yang tercantum dalam SPPT PBB tahun pajak yang paling awal yang tertulis atas nama yang mengalihkan harta tersebut, atau jika SPPT PBB tidak ada, berdasarkan surat keterangan dari kepala KPPBB.

- Untuk harta selain tanah dan/atau bangunan, apabila nilai atau harga perolehan tidak diketahui, maka nilai perolehan bagi yang menerima pengalihan harta tersebut, adalah sama besarnya dengan 60% dari harga wajar harta tersebut pada saat terjadinya pengalihan.



b. Warisan ;

c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan, sebagaimana dimaksud dalam Psl 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal.;
Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai, yang diterima oleh badan merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi badan tersebut. Namun karena harta tersebut, diterima sebagai pengganti saham atau tanda penyertaan modal, maka berdasarkan ketentuan ini, harta yg diterima tsb bukan merupakan objek pajak.

d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari wajib pajak atau Pemerintah, kecuali diberikan oleh bukan wajib pajak, wajib pajak yang dikenakan pajak secara final atau wajib pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan, berkenaan dengan pekerjaan atau jasa merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh bukan dalam bentuk uang. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura seperti beras, gula, dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk kenikmatan, seperti penggunaan mobil, rumah, fasilitas pengobatan, dan lain sebagainya, bukan merupakan objek pajak.

Apabila yang memberi imbalan berupa natura atau kenikmatan tersebut, bukan wp, atau wp yang dikenakan PPh Final, dan wp yang dikenakan berdasarkan norma perhitungan/khusus/deemed profit, maka imbalan dalam bentuk natura/kenikmatan, tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerima atau yang memperolehnya.
Misalnya seorang penduduk Indonesia menjadi pegawai pada suatu perwakilan diplomatic asing di Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh kenikmatan menempati rumah yang disewa oleh perwakilan diplomatic tersebut, atau kenikmatan lainnya, kenikmatan – kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai tersebut, sebab perwakilan diplomatic yang bersangkutan bukan merupakan wajib pajak.

e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.
Penggantian santunan atau santunan yang diterima oleh orang pribadi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, bukan merupakan objek pajak . Hal ini selaras dengan ketentuan dalam Psl 9 ayat (1) huruf d, yaitu bahwa premi asuransi yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi untuk kepentingan dirinya tidak boleh dikurangkan dalam perhitungan penghasilan kena pajak.

f. deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas, sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN dan BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :
1) deviden berasal dari cadangan laba yang ditahain ; dan
2) bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD, yang menerima deviden kepemilikan saham pada badan yang memberikan deviden paling rendah 25% (dua puluh lima persen), dari jumlah modal yang disetor.
Berdasarkan ketentuan ini, deviden yang dananya berasal dari laba setelah dikurangi pajak dan diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wp dalam negeri, koperasi, dan BUMN/BUMD, dari penyertaannya pada badan usaha lainnya, yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, dengan penyertaan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen), dan penerima deviden tersebut memperoleh penghasilan dari usahan riil di luar penghasilan yang berasal dari penyertaan tersebut, tidak termasuk objek pajak. Yang dimaksud dengan BUMN/
dan BUMD dalam ayat ini, antara lain adalah perseroan (Persero), bank pemerintah bank pembangunan daerah.
Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima deviden atau bagian laba adalah wajib pajak selain badan-badan tersebut diatas, seperti orang pribadi baik dalam negeri, maupun luar negeri, firma, perseroan komanditer, yayasan dan orgnisasi sejenis, dan sebagainya, maka penghasilan berupa deviden atau bagian laba tersebut tetap merupakan objek pajak.



g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja, maupun pegawai.
Pengecualian sebagai objek pajak berdasarkan ketentuan ini, hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari objek pajak adalah iuran yang diterima dari peserta pensiun, baik atas beban sendiri maupun yang ditanggung pemberi kerja.
Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana pensiun tersebut merupakan dana milik dari peserta dana pensiun, yang akan dibayarkan kembali kepada mereka pada waktunya. Pengenaan pajak atas iuran tersebut berarti mengurangi hak para peserta pensiun, dan oleh karena itu iuran tsb dikecualikan sebagai objek pajak.

h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menkeu.;
Sebagaimana tersebut dalam huruf g, pengecualian sebagai objek pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari objek pajak dalam hal ini adalah penghasilan dari modal yang ditanamkan di bidang-bidang tertentu berdasar kan Keputusan Menteri Keuangan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 651/KMK.04/1994, Tgl 29 Desember 1994, Tentang Bidang Penanaman Modal tertentu yang memberikan penghasilan kepada dana pensiun yang tidak termasuk sebagai objek PPh adalah sebagai berikut ;
· bunga dan diskonto dari deposito, sertifikat, dan tabungan, pada bank di Indonesia, serta sertifikat Bank Indonesia.
· bunga dan obligasi yang diperdagangkan di pasar modal Indonesia;
· deviden dari saham pada perseroan terbatas yang tercatat di bursa efek di Indonesia.

Selanjutnya dalam SE- Direktur Jenderal Pajak No. SE- 16/PJ.4/1995, Tgl 23 Maret
1995, dinyatakan sebagai berikut :
Penghasilan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan
yang bukan merupakan objek pajak PPh adalah :
· iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang dibayar oleh pemberi kerja maupun oleh pegawai.
· penghasilan dana pensiun dari modal yang ditanamkan dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Penghasilan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dari penanaman modal yang tidak termasuk objek pajak sebagaimana dimaksud Keputusan Menkeu seperti disebut diatas, dananya harus bersumber dari dana yang terkumpul dari iuran pensiun yang diterima atau diperoleh dana pensiun, atau yang dibayar pemberi kerja termasuk pengembangannya.

Apabila ada yang berasal dari pihak ketiga, atau uang pribadi pengurus dana pensiun, maka penghasilan yang diterima atau diperoleh dana pensiun menjadi objek pajak. Jika dana pensiun yang dimaksud, menerima atau memperoleh bunga atau diskonto, yang berasal dari deposito, dan tabungan, atau SBI, bunga dan/atau deviden dari obligasi dan/atau saham yang diperdagangkan di bursa efek di Indonesia, maka penghasilan tersebut, merupakan objek pajak dan harus dipotong PPh Psl 23 UU Pajak penghasilan oleh pemberi hasil.
Dengan demikian penghasilan yang diterima atau diperoleh dana pensiun dimaksud dapat dikelompokan menjadi :
· Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak ;
· Penghasilan lainnya yang merupakan objek pajak
Dana pensiun yang memperoleh penghasilan seperti itu, wajib membuat pencatatan yang terpisah dalam pembukuannya, antara penghasilan yang bukan objek pajak dengan penghasilan yang menjadi objek pajak. Kalau tidak demikian halnya, maka perhitungan biaya yang boleh dikurangkan/dibebankan dari penghasilan bruto, akan ditetapkan secara perbandingan



i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer, yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif ;
Untuk kepentingan pengenaan pajak, badan-badan sebagaimana disebut dalam ketentuan ini, yang merupakan himpunan para anggotanya dikenakan pajak sebagai satu kesatuan, yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh karena itu bagian laba yang diterima oleh para anggota badan tersebut bukan lagi menjadi objek pajak.

j. dihapus;
(bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha)

k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura, berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yg didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut :
1) merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ; dan
2) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
Perusahaan modal ventura (ventura capital), adalah suatu perusahaan yang kegiatan usahanya membiayai badan usaha (sebagai pasangan usaha ) dalam bentuk penyertaan modal untuk jangka waktu tertentu. Berdasarkan ketentuan ini, bagian laba yang diterima atau diperoleh dari perusahaan pasangan usaha, tidak termasuk objek pajak, dengan syarat perusahaan pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam sektor-sektor tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek Indonesia.

Apabila pasangan usaha perusahaan modal ventura memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f, deviden yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura bukan merupakan objek pajak. Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat diarahkan kepada sektor-sektor kegiatan ekonomi yang memperoleh prioritas untuk dikembangkan, misalnya untuk meningkatkan ekspor non migas, usaha atau kegiatan perusahaan pasangan usaha tersebut diatur oleh Menteri Keuangan.



Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternatif pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal, maka penyertaan modal tersebut diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang belum mempunyai akses ke bursa efek.
Sehubungan dengan perusahaan kecil dan menengah pasangan usaha dari perusahaan modal ventura, Menteri Keuangan, telah menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan No. 250/KMK.04/1995, Tgl 2 Juni 1995, Tentang perusahaan kecil dan menengah pasangan usaha dari perusahaan modal ventura dan perlakuan perpajakan atas penyertaan modal perusahaan modal ventura, yg berisikan antara lain:

1. Perusahaan kecil dan menengah pasangan usaha perusahaan modal ventura, adalah perusahaan yang penjualan bersihnya setahun tidak melebihi Rp 5.000.000.000. (lima miryar rupiah).
2. Penyertaaan modal perusahaan modal ventura pada setiap perusahaan pasangan usaha, dilakukan selama perusahaan pasangan usaha tersebut belum menjual saham di bursa efek dan/atau untuk jangka waktu tidak melebihi 10 tahun.
3. Penghasilan berupa bagian laba yang diterima atau diperoleh, perusahaan modal ventura dari penyertaan modal pada perusahaan pasangan usaha, yang memenuhi persyaratan tersebut diatas, bukan merupakan objek Pajak Penghasilan.
4. Apabila perusahaan pasangan usaha menjual sahamnya di bursa efek, perusahaan modal ventura harus menjual sahamnya pada perusahaan pasangan usaha selambat-lambatnya 36 (tiga puluh enam) bulan, sejak perusahaan pasangan usaha tsb diizinkan oleh BAPEPAM menjual sahamnya di bursa efek.
5. Penghasilan berupa bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura pada perusahaan pasangan usaha, setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka (2) atau angka (4), merupakan objek pajak, kecuali apabila bagian laba tersebut memenuhi ketentuan Psl 4 ayat (3) huruf f UU- PPh.
6. Perusahaan modal ventura wajib membukukan secara terpisah penghasilan yang merupakan objek pajak, dan penghasilan yang bukan merupakan objek pajak.

l. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan

m. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
Bahwa dalam rangka mendukung usaha peningkatan kualitas sumber daya manusia melaluipendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan diperlukan sarana dan prasarana yang memadai. Untuk itu dipandang perlu memberikan fasilitas perpajakan berupa pengecualian pengenaan pajak atas sisa lebih yang diterima atau diperoleh, sepanjang sisa lebih tersebut ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan gedung dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan dimaksud. Penanaman kembali sisa lebih dimaksud harus direalisasikan paling lama dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak sisa lebih tersebut diterima atau diperoleh.
Untuk menjamin tercapainya tujuan pemberian fasilitas ini, maka lembaga atau badan yang menyelenggarakan pendidikan harus bersifat nirlaba. Pendidikan serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada siapa saja dan telah mendapat pengesahan dari instansi yang membidanginya.

n. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Bantuan atau santunan yang diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kepada wajib pajak tertentu adalah bantuan sosial yang diberikan khusus kepada wajib pajak atau anggots masyarakat yang tidak mampu atau sedang mendapat bencana alam atau tertimpa musibah.

PER-23/PJ/2009, TARIF DAN TATA CARA PEMUNGUTAN,PENYETORAN, SERTA PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22

bahwa untuk mengurangi dampak krisis ekonomi global yang berakibat turunnya harga komoditas hasil perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan, dipandang perlu meninjau kembali tarif pemungutan PPh Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul, maka diterbitkan :


PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER -23/PJ/2009


TENTANG


PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP-523/PJ./2001 TENTANG TARIF DAN TATA CARA PEMUNGUTAN,PENYETORAN, SERTA PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 OLEH INDUSTRI DAN EKSPORTIR YANG BERGERAK DALAM SEKTOR PERHUTANAN, PERKEBUNAN, PERTANIAN, DAN PERIKANAN, ATAS PEMBELIAN BAHAN-BAHAN UNTUK KEPERLUAN INDUSTRI ATAU EKSPOR MEREKA DARI PEDAGANG PENGUMPUL


Merubah Pasal 2. Sehingga secara utuh berbunyi :



Pasal 1


(1) Badan usaha industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan ditunjuk sebagai Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.
(2) Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Keputusan Penunjukan bagi badan usaha industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak, sebagai Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).


Pasal 2 ( diubah )


Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 22 yang wajib dipungut atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh pemungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari harga pembelian.


Diubah menjadi :


Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 22 yang wajib dipungut atas pembelian bahan-bahan oleh pemungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) adalah sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai. – Sesuai PER-23/PJ/2009 – Berlaku sejak tanggal ditetapkan 12 Maret 2009





Pasal 3


Dalam melaksanakan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, badan usaha industri dan eksportir selaku Pemungutan Pajak wajib menerbitkan Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 Final dalam rangkap 3 (tiga) yaitu :- lembar pertama : untuk penjual;- lembar kedua : untuk disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak (dilampirkan pada SPT Masa PPh Pasal 22);- lembar ketiga : sebagai arsip pemungut pajak yang bersangkutan.


Pasal 4


(1) Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh pemungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dilakukan secara kolektif dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak.
(2) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 wajib menyetorkan Pajak Penghasilan Pasal 22 yang dipungut paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro.


Pasal 5


Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 wajib menyampaikan laporan mengenai Pajak Penghasilan Pasal 22 yang telah dipungut dan telah disetor setiap bulan kepada Kantor Pelayanan Pajak di tempat kedudukan Pemungut Pajak, paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 22 yang dilampiri Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 dan lembar ketiga Surat Setoran Pajak.




PPh Kegiatan Usaha Berbasis Syariah PP nomor 25 Tahun 2009

Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2009

"Tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah"






Usaha Berbasis Syariah adalah:

Setiap jenis usaha yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang meliputi perbankan syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, jasa keuangan syariah dan kegiatan usaha berbasis syariah lainnya.

Perlakuan Pajak Penghasilan dari kegiatan usaha berbasis syariah meliputi:

1. Penghasilan

2. biaya ;
biaya dari kegiatan usaha berbasis syariah termasuk :
- hak pihak ketiga atas bagi hasil
- margin dan
- kerugian dari transaksi bagi hasil

3. pemotongan pajak atau pemungutan pajak
pemotongan pajak atau pemungutan pajak dari kegiatan usaha berbasis syariah dilakukan juga terhadap:
- hak pihak ketiga atas bagi hasil
- margin dan
- hasil berbasis syariah lainnya yg sejenis

Berlaku

mulai 1 Januari 2009

Download PP nomor 25 Tahun 2009



OBJEK PADA PAJAK PENGHASILAN

Pengertian Penghasilan.

Rumusan penghasilan yang termasuk objek pajak dalam Psl 4 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008. yang berbunyi :
” Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, baik yang berasal dari Indonesia, maupun dari luar Indonesia, dengan nama dan dalam bentuk apapun. termasuk :
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa, yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan honororarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya,
Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah objek pajak.
Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura yang pada hakekatnya merupakan penghasilan.



b. Hadiah dari undian, atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan ;
Dalam pengertian hadiah, termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olah raga dll sebagainya. Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungandengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-benda purbakala.

Mengenai perlakuan PPh terhadap hadiah dan penghargaan, agar tidak terdapat keraguan dalam pelaksanaannya, telah dikeluarkan surat edaran/keputusan Direktur Jenderal Pajak dan terakhir Surat Keputusan Direktur Jnderal Pajak No. KEP.395/PJ.2001, Tgl 13 Juni 2001, tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Hadiah dan Penghargaan, yang mengatur hal-hal sebagai berikut :
(1) Pengertian :
a. Hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan melaui undian ;
b. Hadiah atau penghargaan perlombaan adalah hadiah atau penghargaan yang diberikan melalui suatu perlombaan atau adu ketangkasan.
c. Hadiah sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan lainnya, adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh penerima hadiah.
d. Penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan prestasi dalam kegiatan tertentu.
(2) Tarif dan dasar pengenaan :
a. Hadiah undian dikenakan PPh sebesar 25% dari jumlah penghasilan bruto, dan bersifat final.
b. Hadiah atau penghargaan perlombaan, dan hadiah sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan lainnya dikenakan PPh dengan ketentuan sbb :
· Dalam hal penerima penghasilan adalah orang pribadi wajib pajak dalam negeri, dikenakan PPh Psl 21 sebesar tarif Psl 17 UU PPh.
· Dalam hal penerima penghasilan adalah wp luar negeri, selain BUT, dkenakan PPh Psl 26 sebesar 20% dari jumlah bruto, atau sesuai dengan tarip P3B.
· Dalam hal penerima penghasilan adalah wp badan, termasuk BUT, dikenakan PPh berdasarkan Psl 23 ayat (1) huruf a.4 UU PPh, yaitu sebesar 15% dari jumlah penghasilan bruto.
(3) Tidak termasuk pengertian hadiah dan penghargaan yang dikenakan PPh, adalah hadiah langsung dalam penjualan barang atau jasa sepanjang diberikan kepada semua pembeli atau konsumen akhir tanpa diundi dan hadiah tersebut diterima langsung oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang atau jasa.

c. Laba usaha ;



d. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta termasuk :
1) keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal ;
2) keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, dan atau anggota yang diperoleh peseroan, persekutuan, dan badan lainnya ;
3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambil alihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bantuk apapun ;
4) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial, termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan diantara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
5) keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan ;
Apabila wp menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa bukunya, atau lebih tinggi dari nilai perolehan, maka selisih harga tersebut merupakan keuntungan yang dikenakan pajak, tapi cara perhitungannya adalah seluruh nilai jual atau penggantian harta tersebut, dimasukan sebagai penghasilan, kemudian sisa bukunya dibebankan sebagai pengurangan penghasilan pada akhir tahun pajak.
Dalam hal penjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha dengan pemegang sahamnya, maka nilai jual/penggantian yang digunakan, adalah harga pasar. Misalnya PT Q, memiliki sebuah mobil dengan nilai sisa buku Rp 50.000.000.-. mobil tersebut dijual dengan harga Rp 65.000.000.- maka selisih sebesar Rp 15.000.000. merupakan penghasilan bagi badan usaha tersebut, dan apabila mobil dimaksud dbeli salah seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp 55.000.000.- maka selisih sebesar Rp15.000.000. tetap merupakan penghasilan badan usaha tersebut, sedangkan pemegang saham dengan selisih harga pasar Rp 10.000.000,- merupakan objek pajak bagi pemegang saham dimaksud.

Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta/aktiva badan tersebut, yaitu harga jual dengan nilai sisa bukunya juga merupakan objek pajak. Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham, atau penyertaan modal, maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar harta tersebut, dengan nilai bukunya merupakan objek pajak.

Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dengan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang mengalihkan, kecuali harta tersebut dialihkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, serta badan keagamaan, atau badan pendidikan, atau sosial, termasuk yayasan dan pengusaha kecil dan koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan usaha, kegiatan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan.

Selanjutnya dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 604/KMK.04/ 1994, Tgl 21 Desember 1994, Tentang Badan-Badan dan Pengusaha Kecil yang Menerima Harta hibahan dan Yang tidak Termasuk Objek Pajak Penghasilan disebut bahwa :
- Badan keagamaan adalah badan termasuk yayasan yang kegiatannya semata- mata mengurus tempat ibadah, dan/atau menyelenggarakan kegiatan dibidang keagamaan, yang tidak mencari keuntungan ;
- Badan pendidikan adalah badan termasuk yayasan yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan pendidikan formal tingkat taman kanak-kanak dan/atau tingkat dasar, dan/atau tingkat menengah perguruan tinggi, yang tidak mencari keuntungan;
- Badan sosial adalah badan termasuk yayasan yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan :
(1) pemeliharaan kesehatan dan/atau
(2) pemeliharaan orang lanjut usia (panti jompo), dan/atau ;
(3) pemeliharaan anak yatim piatu, anak atau orang terlantar, dan/atau anak serta orang cacat, dan/atau ;
(4) santunan dan/atau pertolongan kepada korban bencana alam, kecelakaan, dan sejenisnya, dan/atau ;
(5) pemberian bea siswa dan/atau ;
(6) pelestarian lingkungan hidup, dan/atau
(7) kegiatan sosial lainnya ;
sepanjang badan sosial tersebut tidak mencari keuantungan.
- Pengusaha kecil termasuk koperasi adalah pengusaha yang pada saat menerima hibah jumlah nilai aktivanya tidak termasuk tanah dan/atau bangunan tidak melebihi Rp 600.000.000.-(enam ratus juta rupiah).
- Harta hibahan yang diterima oleh badan-badan dan pengusah kecil termasuk koperasi, tidak termasuk sebagai objek pajak penghasilan, sepanjang antara pemberi hibah dengan penerima hibah tidak ada hubungan kegiatan, usaha, pekerjaan, dan kepemilikan atau penguasaan.
- Pengalihan harta hibahan dibukukan sesuai dengan nilai sisa buku harta tsb.



e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.dan pembayaran tambahan pengembalian pajak.
Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya, pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak, merupakan objek pajak. sebagai contoh PBB yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena suatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan.

f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan dan jaminan pengembalian utang ;
Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang. premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual diatas nilai nominalnya, sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli dibawah nilai nominal.
Premium tsb merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi, dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi.

g. Deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi ;
Deviden merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham dan pemegang Polis asuransi, atau pembagian SHU koperasi yang diperoleh anggota koperasi.
Termasuk dalam pengertian deviden adalah :
(1) pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
(2) pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah penyetoran.
(3) pemberian saham bonus, yang dilakukan tanpa penyetoran, termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham.
(4) pencatatan tambahn modal yang dilakukan tanpa penyetoran.
(5) jumlah yang melebihi setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan ybs.
(6) pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetor, jika dalam tahun-tahun yang lalu diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu, adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah
(7) pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut.
(8) bagian laba sehubungan dengan kepemilikan obligasi.
(9) bagian laba yang diterima oleh pemegang polis.
(10) pembagian sisa hasil usaha koperasi.
(11) pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.

Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran deviden secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya, dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran, Apabila hal ini, maka selisih antara bunga yang dibayarkan dengan tingkat bunga yang berlaku wajar dipasaran, dianggap sebagai deviden. Bagian bunga yang dianggap sebagai deviden tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.



h Royalti ;
Royalty adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apapun, baik dilakukan secara berkala, maupun tidak, sebagai imbalan atas :

(1) penggunaan atau menggunakan hak cipta dibidang kesusasteraan, kesenian, atau karya ilmiah, paten, desain, atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya ;
(2) penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah ;
(3) pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial
(4) pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak mengunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa :
a. penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya,yangdisalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serta optik, atau teknologi yang serupa;
b. penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio, yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
a. penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;

(5). penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita Video, atau siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan

(6). pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut diatas.

i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak, atau harta tak gerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, atau sewa gudang, dan penghasilan sewa disini adalah sewa bruto.

j. Penerimaan dan perolehan pembayaran berkala;
Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya uang ”alimentasi” atau tunjangan yang dibayarkan seumur hidup kepada mantan isteri berdasarkan keputusan hukum oleh suami selama mantan isteri masih hidup.



k. Keuntungan karena pemebebasan utang, kecuali sampai jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah ;
Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang, dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibeban kan sebagai biaya. Namun, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur kecil misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejatera (Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai objek pajak.

l. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing ;
Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistim pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat azas, sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.

m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva ;
Selisih lebih karena penilain aktiva sebagaimana dimaksud Psl 19 UU- PPh, merupakan penghasilan. Penilaian kembali aktiva tetap terakhir diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 79/KMK.03/2008, Tgl 23 Mei 2008.

n. Premi asuransi ;
Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi.

o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
Iuran yang dibayar oleh anggota perkumpulan yang dihitung berdasarkan volume kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari anggota tersebut, misalkan iuran yang besarnya menurut jumlah (volume) ekspor. Atau satuan produksi, atau omzet penjualan barang, dan inlah yang menjadi objek pajak pada perkumpulan.



p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak
Tambahan kekayaan neto pada hakikatnya merupakan akumulasi dari penghasilan, baik yang telah dikenakan pajak maupun yang belum dikenakan pajak. Apabila diketahui adanya penambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak, tetapi penghasilan itu belum dikenakan pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan yang jadi objek pajak.

q. penghasilan dari usaha yang berbasis syariah ;
Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan usaha yang bersifat konvensional. Namun penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha berbassis syariah tersebut tetap merupakan objek pajak menurut Undang-Undang ini.

r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan, dan :

s. surplus Bank Indonesia.



Undang-undang PPh. menganut perinsip pemajakan yang sangat luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap penambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wp dari manapun asalnya, yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak dimaksud.
Pengertian penghasilan dalam UU ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wp, merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan wp tersebut untuk ikut andil bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.

Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada wp, penghasilan dapat dikelompokan menjadi :

1. penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas, seperti gaji, honororarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akumtan, pengacara, dan sebagainya.
2. penghasilan dari kegiatan usaha baik orang pribadi maupun badan.
3. penghasilan dari modal, berupa harta gerak maupun harta tak bergerak seperti deviden, bunga, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau yang tidak digunakan dalam usaha, dll sebagainya.
4. penghasilan lain-lain, seperti hak atas bayaran berkala, pembebasan utang, dll.

Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan wp. Karena UU ini menganut pengertian penghasilan yang sangat luas, maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak, digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian apabila dalam suatu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horizontal), kecuali kerugian yang diderita diluar negeri.
Namun demikian apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak, dengan tarif yang bersifat final, atau dikecualikan dari objek pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan dengan tarif umum.
Contoh-contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini, dimaksudkan untuk memperjelas pengertian tentang penghasilan yang luas tidak terbatas pada contoh contoh yang disebut diatas saja.