Simulasi saat pembuatan faktur pajak, saat penyetoran dan pelaporan PPN sesuai UU 42 Tahun 2009


Salah satu perubahan yang cukup penting dalam UU PPN No 42 Tahun 2009 adalah perubahan saat pembuatan Faktur Pajak, saat saat penyetoran PPN dan saat pelaporan SPT Masa PPN.


Saat Pembuatan Faktur Pajak

Dalam rangka meringankan beban administrasi Wajib Pajak maka saat pembuatan Faktur Pajak adalah pada saat terutangnya pajak, yaitu pada saat penyerahan, atau dalam hal pembayaran mendahului penyerahan maka Faktur Pajak dibuat pada saat pembayaran. Dengan pengaturan ini, Wajib Pajak tidak perlu lagi membuat faktur penjualan (invoice) yang berbeda dengan Faktur Pajak.


Saat Penyetoran dan Pelaporan SPT Masa PPN

Untuk membantu likuiditas Wajib Pajak, saat penyetoran PPN dan pelaporan SPT Masa PPN yang semula paling lambat tanggal 15 (lima belas) dan tanggal 20 (dua puluh) setelah Masa Pajak berakhir sebagaimana diatur dalam UU KUP, diperlonggar menjadi paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir


Simulasi saat pembuatan faktur pajak, saat penyetoran dan pelaporan PPN

No

Keterangan

Pengaturan UU PPN Saat Ini

Pengaturan

UU No 42 Th 2009

(1)

(2)

(3)

(4)

1.

Saat Penyerahan

1 Nov

1 Nov

2.

Saat Terutang

1 Nov

1 Nov

3.

Saat Pembuatan FP

31 Des

1 Nov

4.

Saat Penyetoran PPN

15 Jan

31 Des

(sebelum SPT dilaporkan)

5.

Saat Pelaporan SPT

20 Jan

31 Des

6.

Sanksi Terlambat Bayar

2% per bulan

sejak 16 Jan

2% per bulan

sejak 1 Jan

7.

Sanksi Terlambat Lapor

Denda sejak

21 Jan

Denda sejak

1 Jan

Jam Kerja KPP di Bulan Maret dan April 2010

Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan batas akhir penyampaian SPT Tahunan PPh :
  1. Kantor Pelayanan Pajak dan Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan di seluruh Indonesia untuk tetap buka dan memperpanjang jam kerja pada :
  1. Hari Sabtu tanggal 20, 27 Maret 2010, dan 24 April 2010, waktu bekerja mulai pukul 08.30 sampai 12.00 waktu setempat.
  2. Hari Rabu tanggal 31 Maret 2010 dan hari Jumat, tanggal 30 April 2010, waktu bekerja sampai dengan pukul 19.00 waktu setempat.
  1. Jenis Pelayanan yang diberikan kepada Wajib Pajak pada tanggal-tanggal sebagaimana disebutkan pada angka 1, lebih ditekankan pada pelayanan penyampaian dan konsultasi SPT Tahunan PPh. Apabila terjadi permasalahan dari Wajib Pajak terkait situasi dan kondisi di lapangan, maka pelayanan tetap dilakukan dengan mengedepankan pelayanan prima dan edukasi terhadap masyarakat.
Sumber : SE-18/PJ/2010 tanggal 19 Pebruari 2010


Tatacara Penghitungan PPh Pesangon - 2009

DASAR HUKUM

Peraturan Pemerintah No 68 tahun 2009
Peraturan Menteri Keuangan No 16/PMK.03/2010



PENGERTIAN

1. Uang Pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.

2. Uang Manfaat Pensiun adalah penghasilan dari manfaat pensiun yang dibayarkan kepada orang pribadi peserta dana pensiun secara sekaligus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang dana pensiun oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

3. Tunjangan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara tunjangan hari tua kepada orang pribadi yang telah mencapai usia pensiun.

4. Jaminan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja kepada orang pribadi yang berhak dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau keadaan lain yang ditentukan.

5. Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja adalah badan yang dituniuk oleh pemberi kerja untuk mengelola Uang Pesangon yang selanjutnya membayarkan Uang Pesangon tersebut kepada Pegawai dari pemberi kerja pada saat berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja.

6. Pemotong Pajak adalah pemberi kerja, Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Dana Pensiun Pemberi Kerja, atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan lain yang membayar Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua.


SIFAT

1. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final.

2. Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender

3. Dalam hal terdapat bagian penghasilan yang terutang atau dibayarkan pada tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya, pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah bruto seluruh penghasilan yang terutang atau dibayarkan kepada Pegawai pada masing-masing tahun kalender yang bersangkutan

Misalkan pembayaran Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang seharusnya dilakukan sekaligus, namun masih dilakukan bagian pembayaran pada tahun ketiga sebesar Rp50.000.000,00, jika kepada Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan dalam tahun tersebut hanya dibayarkan penghasilan tersebut, Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah bruto tersebut, yaitu sebesar 5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00.

Penerima penghasilan sebagaimana contoh diatas yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak, maka Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong sebesar 120% x 5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 3.000.000,00.

4. Pajak Penghasilan Pasal 21 (seperti yg disebutkan dalam nomor 3) yang dipotong tidak bersifat final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pajak pendahuluan atau kredit pajak.


TARIF PPh PASAL 21 UANG PESANGON

Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon ditentukan sebagai berikut :

a. sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);

b. sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah);

c. sebesar 15% (lima belas persen) atas penghasilan bruto di atas Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);

d. sebesar 25% (dua puluh lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).

Contoh perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong atas penghasilan berupa Uang Pesangon dengan jumlah Rp 175.000.000,00.

Penghasilan bruto

Rp 175.000.000,00

Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang :


0% x Rp50.000.000,00

=

RP 0,00


5% x Rp50.000.000,00

=

Rp 2.500.000,00


15% x Rp75.000.000,00

=

Rp 11.250.000,00 (+)




______________




Rp13.750.000,00


Dalam hal pembayaran Uang Pesangon dalam contoh tersebut di atas dilakukan dalam beberapa kali pembayaran, misalnya :

a. Bulan Desember 2009

=

Rp 50.000.000,00


b. Bulan April 2010

=

Rp 125.000.000.00 (+)




_______________


Jumlah


Rp 175.000.000,00


Perhitungan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 didasarkan pada jumlah pembayaran sebagai satu kesatuan, yaitu sebesar Rp 175.000.000.00

Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong :

Bulan Desember 2009:


Jumlah penghasilan bruto



Rp 50.000.000,00

Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang :


0% x Rp50.000.000.00

=

Rp 0,00


Bulan April 2010:


Jumlah penghasilan bruto



Rp 125.000.000,00

Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang :


5% x Rp 50.000.000.00

=

Rp 2.500.000,00


15% x Rp75.000.000.00

=

Rp 11.250.000,00 (+)




______________


Jumlah


Rp 13.750.000,00


Jumlah seluruh Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong : Rp 0,00 + Rp 13.750.000,00 = Rp 13.750.000,00



TARIF PPh PASAL 21 UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, ATAU JAMINAN HARI TUA

Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai berikut:

a. sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah);

b. sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Contoh perhitungan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong atas pembayaran Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus sebesar Rp 150.000.000,00 adalah:

Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus Rp 150.000.000,00

Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang:


0% x Rp 50.0000.000,00

=

Rp 0,00


5% x Rp 100.000.000,00

=

Rp 5.000.000,00




_____________


Jumlah

=

Rp 5.000.000,00






Dalam hal jumlah pembayaran uang Jaminan Hari Tua tersebut di atas dibayarkan dalam beberapa kali pembayaran, misalnya :

Bulan Desember 2009 sebesar


Rp 50.000.000,00


Bulan Februari 2010 sebesar


Rp 100.000.000,00




_______________


Jumlah


Rp 150.000.000,00


Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebagai berikut:

Bulan Desember 2009:
0% x Rp50.000.000,00

=

Rp 0,00


Bulan Februari 2010:
5% x Rp 100.000.000,00

=

Rp 5.000.000,00




_____________


Jumlah

=

Rp 5.000.000,00



TATACARA PEMOTONGAN

1. Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun,Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua.

2. Pemotong Pajak wajib memberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada Pegawai yang berhak menerima Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun,Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua

3. Kewajiban menghitung, memotong, menyetorkan, dan kewajiban memberikan bukti pemotongan tetap dilakukan terhadap Pegawai yang dikenai tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar 0%(nol persen).


PENGALIHAN PEMBAYARAN

1. Pembayaran Uang Pesangon kepada Pegawai dapat dilakukan secara langsung oleh pemberi kerja atau dialihkan kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja.

2. Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara sekaligus kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai dianggap telah menerima hak atas Uang Pesangon

Dalam hal pembayaran Uang Pesangon dialihkan oleh pemberi kerja kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan oleh pemberi kerja pada saat pengalihan Uang Pesangon

3. Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara bertahap atau berkala kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai dianggap belum menerima hak atas Uang Pesangon. Pemberi kerja tidak melakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal21 atas pengalihan Uang Pesangon tersebut.

Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Uang Pesangon dilakukan oleh Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja pada saat pembayaran Uang Pesangon kepada Pegawai

4. Dalam hal terjadi pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun membeli anuitas seumur hidup, Pegawai sebagai peserta dianggap telah menerima hak atas Uang Manfaat Pensiun vang dibayarkan secara sekaligus.

Dalam hal terjadi pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa, pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan pada saat pembelian anuitas seumur hidup


BERLAKU

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 16 Nopember 2009

Pada saat Peraturan Pemerintah No 68 Tahun 2009 ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 149 Tahun 2000 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku


DOWNLOAD

Bukti Potong Final – klik disini

Tempat Terutang PPN sesuai PER-4/PJ/2010, Ps 12(1) UU PPN No. 42 Tahun 2009

Sesuai Pasal 12 ayat (1) UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 disebutkan,


Pengusaha Kena Pajak yang melakukan :


a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;

b. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;

c. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;

d. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;

e. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.


terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan atau tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.


Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER - 4/PJ/2010


Pasal 1


(1) Bagi Pengusaha Kena Pajak Orang Pribadi, Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang di tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha atau tempat lain

(2) Bagi Pengusaha Kena Pajak Badan, Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang di tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha atau tempat lain.


Pasal 2


Pengusaha Kena Pajak Orang Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) yang mempunyai tempat tinggal tidak sama dengan tempat kegiatan usahanya, dikukuhkan dan terutang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah hanya di tempat kegiatan usahanya, sepanjang Pengusaha Kena Pajak tersebut tidak melakukan kegiatan usaha apapun di tempat tinggalnya.


Berlaku 1 April 2010



Tatacara Pengisian SPT Tahunan PPh Badan 2009



Berikut kami sampaikan beberapa langkah mudah mengisi SPT tahunan PPh badan 2009

Langkah I, Mengumpulkan Data

• Kumpulkan data tentang semua penghasilan yang anda terima selama tahun 2009
• Kumpulkan semua data atas semua biaya yang telah anda keluarkan selama tahun 2009
• Kumpulkan bukti potong PPh 23 dan PPh Pasal 22 yang Anda terima/peroleh,
• Kumpulkan daftar Aktiva yang Anda miliki s/d 31-12-2009;
• Hitung Saldo hutang/pinjaman per 31-12-2009 ;
• Siapkan data Pengurus dan Komisaris lengkap dengan alamat dan NPWPnya.



Langkah II, Mengolah Data

• Mengidentifikasi apakah penghasilan tsb merupakan obyek PPh tidak final, obyek PPh final atau bukan merupakan obyek pajak
• Melakukan pemilahan mana biaya yang boleh dibiayakan di SPT Tahunan mana yang tidak boleh dikurangkan/ melakukan rekonsiliasi fiscal

Langkah III, Mengisi Form SPT Tahunan

• Baca buku petunjuk pengisian SPT Tahunan dengan cemat.
• Input ke dalam e-SPT PPh Tahunan, mulai dari lampiran.
• Isi terlebih dahulu Lampiran SPT sebelum mengisi Induk SPT.
• Bila diperlukan dapat dibuat lampiran tambahan.
• Induk SPT beserta lampirannya diisi rangkap dua:
- Satu lembar untuk Kantor Pelayanan Pajak.
- Satu lembar untuk arsip Wajib Pajak.
• Angka-angka rupiah dalam SPT Tahunan berikut lampirannya dinyatakan dalam rupiah penuh.
• Ditandatangani oleh Wajib Pajak/pengurus atau kuasa.

Langkah IV, Siapkan Dana

Siapkan dana juga siapa tahu PPh Anda kurang bayar.


Lebih Jelasnya silakan KLIK DISINI


Download Form SPT Tahunan 1771 disini

Download Installer e-SPT Tahunan disini

Semoga Bermanfaat

Tax Treaty

Tax treaties exist between many countries on a bilateral basis to prevent double taxation (taxes levied twice on the same income, profit, capital gain, inheritance or other item). In some countries they are also known as double taxation agreements, double tax treaties, or tax information exchange agreements (TIEA). In fact these are Double Taxation Avoidance Treaties i.e. treaties to avoid tax being levied twice.


Most developed countries have a large number of tax treaties, while developing countries are less well represented in the worldwide tax treaty network. The United Kingdom has treaties with more than 110 countries and territories. The United States has treaties with 56 countries (as of February 2007). Tax treaties tend not to exist, or to be of limited application, when either party regards the other as a tax haven. There are a number of model tax treaties published by various national and international bodies, such as the United Nations and the OECD.


Download Treaty PDFclick here


Concept


International double taxation, narrowly defined, occurs when two different states impose a comparable tax on the same potential taxpayer on the same taxable item. The concept has been defined more broadly, but with less precision, as the result of overlapping tax claims of two or more states. For example, someone who is resident for tax purposes in France and who makes an interest-bearing deposit with a bank in the UK is potentially exposed to income tax on the interest in the UK and in France.


The concept of international double taxation that bilateral tax treaties seek to remove is broader than the narrow definition. It includes some types of economic double taxation—that is, taxation of something already taxed under another country's laws whether or not it is formally subject to multiple levels of taxation. For example, many tax treaties operate to provide tax relief to a corporate group when a state has imposed a corporate income tax on profits earned by a subsidiary corporation and another state otherwise would impose a corporate income tax on its parent corporation when those profits are distributed as a dividend.


In general, tax treaties attempt to eliminate most forms of international double taxation, narrowly defined, and various other forms of international double taxation when a failure to do so would have a demonstrably harmful impact on international trade and investment.


A major goal of bilateral tax treaties is to remove impediments to international trade and investment by abating the risk of double taxation that can occur when both contracting states impose tax on the same income. This goal is advanced in five distinct ways.

  • First, a bilateral tax treaty generally increases the extent to which exporters residing in one contracting state can engage in trading activity in the other contracting state without attracting tax liability in that latter.
  • The second state can usually only impose tax on the business profits of a person who is resident in the other state if they operate in the second state through a permanent establishment there.

Pajak Penghasilan Bagi Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri



Dasar Hukum :

KMK-416/KMK.04/1996
SE-29/PJ.4/1996).


Pengertian :

Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri adalah orang yang bertempat tinggal atau badan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia yang melakukan usaha pelayaran dengan kapal yang didaftarkan di Indonesia maupun di luar negeri atau dengan kapal pihak lain (cfm.KMK-416/KMK.04/1996 Jo SE-29/PJ.4/1996).


Pengenaan Pajak :

atas penghasilan bruto yang dterima atau diperoleh WP Pelayaran Dalam Negeri dikenakan PPh sebesar 1,2% dan bersifat Final.

Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri dikenakan Pajak Penghasilan atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperolehnya baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Oleh karena itu penghasilan yang menjadi Objek pengenaan PPh meliputi penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari pengangkutan orang dan/atau barang, termasuk penghasilan penyewaan kapal yang dilakukan dari :

- pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan lainnya di Indonesia;
- pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar Indonesia;
- pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan di Indonesia; dan
- pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan lainnya di luar Indonesia.

Apabila Wajib Pajak melakukan kegiatan jasa angkut (perusahaan pelayaran yang beroperasi sendiri mencari muatan, pada trayek yang tetap dan melayani secara tetap dengan freight yang tertentu) dan jasa sewa (meyewakan kapal) maka WP hanya menghitung PPh atas jasa angkutnya saja karena penghasilan dari jasa sewa telah dipotong oleh pihak lain.


Pelunasan dan Pelaporan :

a. Dalam hal penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian persewaan atau charter dengan pemotong pajak, maka pihak yang membayar atau terutang hasil tersebut wajib :

· memotong PPh yang terutang pada saat pembayaran atau terutangnya imbalan atau nilai pengganti;
· memberikan Bukti Pemotongan PPh atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri (Final) kepada pihak yang menerima atau memperoleh penghasilan;
· menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya imbalan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP);
· melaporkan pemotongan dan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya imbalan.

b. Dalam hal penghasilan diperoleh selain sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri wajib

· menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP)Final;
· melaporkan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan.


Penghasilan Lain

Dalam hal Wajib Pajak juga menerima atau memperoleh penghasilan lainnya selain penghasilan dari jasa pelayaran, maka atas penghasilan lain tersebut dikenakan PPh berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku.




PPN MEMBANGUN SENDIRI SEBESAR 0% DI WILAYAH BENCANA ALAM DI SUMATRA BARAT DAN JAMBI

Pengenaan PPN Membangun Sendiri


1. Atas kegiatan membangun sendiri tempat tinggal dan tempat usaha yang terkena bencana alam dengan luas bangunan 200m2 (dua ratus meter persegi) atau lebih dan bersifat permanen, dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% (sepuluh persen) dikali dengan Dasar Pengenaan Pajak.

2. Bencana alam sebagaimana dimaksud pada nomor (1) adalah bencana gempa bumi yang terjadi di sebagian wilayah Provinsi Sumatera Barat pada tanggal 30 September 2009 dan wilayah Provinsi Jambi pada tanggal 1 Oktober 2009. Daftar wilayah tersebut:

I. Provinsi Sumatera Barat :

1. Kota Padang

2. Kota Bukittinggi

3. Kota Pariaman

4. Kota Padang Panjang

5. Kabupaten Pesisir Selatan

6. Kabupaten Agam

7. Kabupaten Solok

8. Kabupaten Padang Pariaman

9. Kabupaten Pasaman

10. Kabupaten Pasaman Barat

11. Kabupaten Kepulauan Mentawai

12. Kabupaten Tanah Datar

II. Provinsi Jambi :

Kabupaten Kerinci

3. Dasar Pengenaan Pajak atas kegiatan membangun sendiri sebagaimana dimaksud pada nomor (1) adalah 0% (nol persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau dibayarkan untuk membangun bangunan tersebut, tidak termasuk harga perolehan tanah.

4. Dalam hal kegiatan membangun sendiri dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas impor dan/atau perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri, tidak dapat dikreditkan.







Restitusi

Pajak Pertambahan Nilai yang telah disetor ke Kas Negara atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan pada atau setelah terjadinya bencana alam sampai dengan diundangkannya Peraturan Menteri Keuangan ini, dapat dimintakan pengembalian.

Saat Berlakunya

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 2009 sampai dengan tanggal 31 Desember 2010.

Dasar Hukum

PMK- 17/PMK.03/2010, 25 Januari 2010
Tentang PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI PASCA BENCANA ALAM DI WILAYAH PROVINSI SUMATERA BARAT DAN SEBAGIAN PROVINSI JAMBI