Biaya Promosi dan Penjualan Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto - PMK-104/PMK.03/2009

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 104/PMK.03/2009

TENTANG

BIAYA PROMOSI DAN PENJUALAN YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO

Yang dimaksud dengan :

Biaya Promosi adalah biaya yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak dalam rangka memperkenalkan, mempromosikan, dan/atau menganjurkan pemakaian suatu produk baik langsung maupun tidak langsung untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan penjualan.

Biaya Penjualan adalah biaya yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak untuk menyalurkan barang dan/atau jasa sampai kepada pembeli dan/atau pelanggan (customer) baik langsung maupun tidak langsung, termasuk biaya pengepakan, biaya pergudangan, biaya pengamanan, dan biaya asuransi, dan biaya lainnya yang diperlukan sampai barang diterima oleh pembeli dan/atau pelanggan (customer).

Distributor Utama adalah perantara baik perorangan atau badan usaha yang bertindak atas namanya sendiri, yang ditunjuk langsung oleh pabrikan atau produsen, untuk melakukan penyimpanan, pendistribusian, pemasaran, serta penjualan barang yang diperoleh langsung dari pabrikan atau produsen, dalam partai besar kepada retailer atau konsumen akhir.

Syarat-Syarat


Biaya Promosi dan/atau Biaya Penjualan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus memenuhi kriteria berikut :
a. untuk mempertahankan dan atau meningkatkan penjualan;
b. dikeluarkan secara wajar;
c. menurut adat kebiasaan pedagang yang baik;
d. dapat berupa barang, uang, jasa, dan fasilitas; dan
e. diterima oleh pihak lain.

Untuk Industri Rokok,

Biaya Promosi hanya dapat dibiayakan oleh :
a. produsen;
b. Distributor Utama; dan
c. importir tunggal.

Besarnya Biaya Promosi adalah sebagai berikut :

a. untuk industri rokok yang mempunyai peredaran usaha sampai dengan Rp 500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah), besarnya Biaya Promosi tidak melebihi 3% (tiga persen) dari peredaran usaha dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);

b. untuk industri rokok yang mempunyai peredaran usaha di atas Rp 500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) sampai dengan Rp 5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah), besarnya Biaya Promosi tidak melebihi 2% (dua persen) dari peredaran usaha dan paling banyak Rp 30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah);

c. untuk industri rokok yang mempunyai peredaran usaha di atas Rp 5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah), besarnya Biaya Promosi tidak melebihi 1% (satu persen) dari peredaran usaha dan paling banyak Rp 100.000.0000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Biaya Promosi tersebut, hanya dapat dibiayakan sebanyak 1 (satu) kali oleh :
a. produsen;
b. Distributor Utama; dan
c. importir tunggal.

Dalam hal Biaya Promosi telah dikeluarkan baik oleh produsen maupun Distributor Utama, pihak yang berhak untuk membebankan Biaya Promosi adalah produsen.

Dalam hal rokok tidak diproduksi di Indonesia, pihak yang berhak untuk membebankan Biaya Promosi adalah importir tunggal.


Untuk industri farmasi,


Biaya Promosi hanya dapat dibiayakan oleh :
a. produsen;
b. Distributor Utama; dan
c. importir tunggal.

Besarnya Biaya Promosi yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah tidak melebihi 2% (dua persen) dari peredaran usaha dan paling banyak Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).

Biaya Promosi, hanya dapat dibiayakan sebanyak 1 (satu) kali oleh :
a. produsen;
b. Distributor Utama; dan
c. importir tunggal.

Dalam hal Biaya Promosi telah dikeluarkan baik oleh produsen maupun Distributor Utama, pihak yang berhak untuk membebankan Biaya Promosi adalah produsen.

Dalam hal produk farmasi tidak diproduksi di Indonesia, pihak yang berhak untuk membebankan Biaya Promosi adalah importir tunggal.

Ketentuan Lain

Dalam hal promosi diberikan dalam bentuk sampel produk, besarnya biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebesar nilai harga pokok.

Daftar Nominatif

Industri rokok dan industri farmasi wajib membuat daftar nominatif atas pengeluaran Biaya Promosi dan/atau Biaya Penjualan yang dikeluarkan kepada pihak lain.

Daftar nominatif paling sedikit harus memuat data penerima berupa nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, dan besarnya biaya yang dikeluarkan.

Dalam hal ketentuan untuk membuat daftar nominatif tidak dipenuhi, Biaya Promosi dan/atau Biaya Penjualan tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

Mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Surat Setoran Pajak ( SSP ) Baru, berlaku 1 Juli 2009

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER - 38/PJ/2009

TENTANG

BENTUK FORMULIR SURAT SETORAN PAJAK


Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:
1. Surat Setoran Pajak yang selanjutnya disebut dengan SSP adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
2. Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak, yang selanjutnya disebut dengan SSPCP adalah surat yang digunakan untuk melakukan pembayaran dan sebagai bukti pembayaran atau penyetoran penerimaan negara.
3. Kantor Penerima Pembayaran adalah Kantor Pos atau bank Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lainnya yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai penerima pembayaran atau penyetoran pajak.

Pasal 2

(1) Bentuk dan isi formulir SSP adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Formulir SSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam rangkap 4 (empat), dengan peruntukan sebagai berikut:
lembar ke- untuk arsip Wajib Pajak;
lembar ke-2 : untuk Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN);
lembar ke-3 : untuk dilaporkan oleh Wajib Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak;
lembar ke-4 : untuk arsip Kantor Penerima Pembayaran.

(3) Dalam hal diperlukan, SSP dapat dibuat dalam rangkap 5 (lima) dengan peruntukan lembar ke-5 untuk arsip Wajib Pungut atau pihak lain sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
(4) Tata cara pengisian formulir SSP dilakukan berdasarkan Petunjuk Pengisian SSP sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(5) Pengisian Kode Akun Pajak dan Kode Jenis Setoran dalam formulir SSP dilakukan berdasarkan Tabel Akun Pajak dan Kode Jenis Setoran sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 3

Wajib Pajak dapat mengadakan sendiri formulir SSP dengan bentuk dan isi sesuai dengan formulir SSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

Pasal 4

Satu formulir SSP hanya dapat digunakan untuk pembayaran satu jenis pajak dan untuk satu Masa Pajak atau satu Tahun Pajak/surat ketetapan pajak/Surat Tagihan Pajak dengan menggunakan satu Kode Akun Pajak dan satu Kode Jenis Setoran, kecuali Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 3 ayat (3a) huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, dapat membayar Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk beberapa Masa Pajak dalam satu SSP.

Pasal 5

(1) Wajib Pajak melakukan penyetoran penerimaan pajak dalam rangka impor, termasuk penyetoran kekurangan pembayaran pajak atas impor selain yang ditagih dengan Surat Tagihan Pajak atau surat ketetapan pajak, dengan menggunakan formulir SSPCP.
(2) Ketentuan mengenai bentuk dan tata laksana pembayaran dan penyetoran dengan menggunakan SSPCP, mengikuti ketentuan Kepabeanan dan Cukai yang berlaku.

Pasal 6

(1) Formulir SSP yang telah dicetak dengan bentuk dan isi sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ./2006 tentang Bentuk Surat Setoran Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-102/PJ/2006 tetap dapat dipergunakan sampai dengan tanggal 31 Desember 2009.
(2) Tata cara pengisian formulir SSP dan pengisian Mata Anggaran Penerimaan (MAP)/Kode Jenis Pajak dan Kode Jenis Setoran pada formulir SSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada tata cara pengisian formulir SSP dan pengisian Kode Akun Pajak dan Kode Jenis Setoran sebagaimana ditetapkan dalamLampiran I dan Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 7

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ./2006 tentang Bentuk Surat Setoran Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-102/PJ/2006 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 8

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Juli 2009.

Download PER-38/PJ/2009
Download Form SSP Baru dan Tatacara Pengisiannya
Download Kode MAP/Kode Akun Pajak dan Kode Jenis Setoran Baru

Saat Penerbitan / Pembuatan Faktur Pajak Standar

Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat:

1. Pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan BKP dan atau penyerahan keseluruhan JKP dalam hal pembayaran diterima setelah bulan penyerahan BKP dan atau penyerahan keseluruhan JKP, kecuali pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya maka Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat pada saat penerimaan pembayaran; atau

2. Pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan BKP dan atau sebelum penyerahan JKP; atau


3. Pada saat penerimaan pembayaran termijn dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau

4. Pada saat PKP rekanan menyampaikan tagihan kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.


KETENTUAN DIATAS MERUPAKAN KETENTUAN SESUAI UU PPN LAMA (SEBELUM UU NO 42 TAHUN 2009)

KETENTUAN BARU MENGENAI FAKTUR PAJAK SESUAI UU PPN BARU NO 42 TAHUN 2009 (berlaku mulai 1 April 2010) dapat KLIK DISINI

Penghitungan PPh Pasal 21 Tahun 2009 - Tenaga Ahli

1. Ketentuan Lama PPh Pasal 21 atas Tenaga Ahli

Ketentuan mengenai petunjuk pemotongan PPh Pasal 21 sebelum tahun 2009 diatur oleh Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER - 15/PJ/2006 jo KEP-545/PJ/2000.
Menurut Pasal 9 ayat :
(7) Atas penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 berdasarkan perkiraan penghasilan neto.
(8) Perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam Ayat (7) adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun.”
Menurut Pasal 12:
Tarif sebesar 15% (lima belas persen) diterapkan atas perkiraan penghasilan neto yang dibayarkan atau terutang kepada tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) dan ayat (8).
Sehingga besarnya PPh Pasal 21 atas tenaga ahli adalah sebesar 7,5% (15% x 50%) x Penghasilan Bruto




2. Ketentuan Baru PPh Pasal 21 atas Tenaga Ahli

Ketentuan baru menegnai tenaga ahli diatur dalam PER-31/PJ/2009.
Menurut peraturan tersebut tenaga ahli merupakan salah satu dari bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris.

Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja.

Dalam hal tenaga ahli tersebut tidak melakukan pekerjaan bebas, misalnya bekerja sebagai pegawai di institusi/ perusahaan tertentu, meskipun profesinya sebagai tenaga ahli, namun dalam menghitung PPh pasal 21 yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan pekerjaannya mengikuti ketentuan PPh Pasal 21 untuk pegawai.

3. Dasar Pengenaan PPh Pasal 21 Tenaga Ahli

Dasar Pengenaan Pajak PPh Pasal 21 Tenaga Ahli yang melakukan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud diatas adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari Jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh.

Khusus untuk Dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau klinik maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jasa dokter yang dibayar oleh pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik.

4. Tarif Pemotongan PPh Pasal 21 Tenaga Ahli

Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas Jumlah Kumulatif dari 50% (lima puluh persen) dari Jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas.



contoh penghitungan - klik di Gambar berikut :

Workshop dengan Tema PPh Pasal 21 2009 dan SPT Masa PPh Ps 21 Baru

Workshop yang dilaksanakan pada tanggal 20 Juni 2009 dengan Tema inti "Penghitungan PPh Pasal 21 Baru sesuai PER-31/PJ/2009 dan Tatacara Pengisian SPT Masa PPh Pasal 21 Baru yang mulai berlaku JULI 2009 sesuai PER-32/PJ/2009" telah sukses digelar.

Hebatnya, acara ini diikuti peserta dari berbagai daerah, selain peserta dari Jakarta juga diikuti oleh beberapa peserta dari luar jawa, yaitu dari Lampung dan Kalimantan (Pontianak). Hal ini menunjukkan bahwa animo para Wajib Pajak untuk ingin mengerti pajak khususnya Penghitungan dan SPT PPh Pasal 21 yang baru sangat tinggi.

Acara dimulai tepat jam 09.00wibb dengan pembukaan dan dilanjutkan pembahasan oleh Trainer. Materi pertama dibahas mengenai pengertian PPh Ps 21, pemotong PPh Ps 21, penerima penghasilan (Pegawai Tetap, Pegawai Tidak Tetap, Tenaga Ahli, Bukan Pegawai, Peserta Kegiaan dan lainnya), dan Dasar Penghitungan PPh Ps 21 beserta tarif.

Pada materi kedua dibahas mengenai pengertian dan tatacara penghitungan dan pemotongan PPh Ps 21 yang Ditanggung Pemerintah (Stimulus PPh Ps 21 untuk Karyawan) beserta contoh Penghitungannya. Karena kebetulan terdapat beberapa Wajib Pajak yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit dan industri gula.

Pada materi ketiga dibahas mengenai pembahasan soal-soal PPh Pasal 21. Dan pada materi terakhir diisi dengan tatacara pengisian SPT Masa PPh Pasal 21 Baru yang mulai berlaku masa JULI 2009.

Rencananya masih akan diadakan workshop serupa, yaitu pada tanggal 11 Juli 2009 dan 25 Juli 2009. Bagi anda yang belum sempat mengikutinya, dan berminat untuk mengikutinya, silakan hubungi:

TRAIN4BEST
Consulting, Training dan Assessment
Jl. Duren Tiga Barat 1 No. 1
Jakarta 12760
Phone : 021-98265288 / 96323283 (Dwi / Tuti / Lina)
Fax : 021-7946480
Email : info@train4best.com

Foto pada saat penyerahan penghargaan dan Serifikat kepada salah seorang peserta, Bapak Fuady Rachman dari PT GARUDA INDONESIA.

PPh Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi - PP Nomor 40 Tahun 2009

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 2009

(susunan dalam satu naskah)

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 51 TAHUN 2008
TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN
DARI USAHA JASA KONSTRUKSI

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:

1. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

2. Jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi.

3. Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.

4. Perencanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain.

5. Pelaksunaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement and construction) serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and build).

6. Pengawasan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.

7. Pengguna Jasa adalah orang pribadi atau badan termasuk bentuk usaha tetap yang memerlukan layanan jasa konstruksi.

8. Penyedia Jasa adalah orang pribadi atau badan termasuk bentuk usaha tetap, yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi baik sebagai perencana konstruksi, pelaksana konstruksi dan pengawas konstruksi maupun sub-subnya.

9. Nilai Kontrak Jasa Konstruksi adalah nilai yang tercantum dalam satu kontrak jasa konstruksi secara keseluruhan.

Pasal 2

Atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Pasal 3

(1) Tarif Pajak Penghasilan untuk usaha Jasa Konstruksi adalah sebagai berikut:

a. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;

b. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;

c. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;

d. 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan

e. 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.

(2) Dalam hal Penyedia Jasa adalah bentuk usaha tetap, tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak termasuk Pajak Penghasilan atas sisa laba bentuk usaha tetap setelah Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Pasal 4

Sisa laba dari bentuk usaha tetap setelah Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang PPh atau sesuai dengan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.

Pasal 5

(1) Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2:

a. dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal Pengguna Jasa merupakan pemotong pajak; atau
b. disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, dalam hal pengguna jasa bukan merupakan pemotong pajak.

(2) Besarnya, Pajak Penghasilan yang dipotong atau disetor sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:

a. jumlah pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dikalikan tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1); atau
b. jumlah penerimaan pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dikalikan taril Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dalam hal Pajak Penghasilan disetor sendiri oleh Penyedia Jasa.

(3) Jumlah pembayaran atau jumlah penerimaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan bagian dari Nilai Kontrak Jasa Konstruksi.

Pasal 6

(1) Dalam hal terdapat selisih kekurangan Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Nilai Kontrak Jasa Konstruksi dengan Pajak Penghasilan berdasarkan pembayaran yang telah dipotong atau disetor sendiri sebagairnana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), selisih kekurangan tersebut disetor sendiri oleh Penyedia Jasa.

(2) Dalam hal Nilai Kontrak Jasa Konstruksi tidak dibayar sepenuhnya oleh Pengguna Jasa, atas Nilai Kontrak Jasa Konstruksi yang tidak dibayar tersebut tidak terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final, dengan syarat Nilai Kontrak Jasa Konstruksi yang tidak dibayar tersebut dicatat sebagai piutang yang tidak dapat ditagih.

(3) Piutang yang tidak dapat ditagih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h Undang-Undang PPh.

(4) Dalam hal piutang yang, nyata-nyata tidak dapat ditagih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat ditagih kembali, tetap dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Pasal 7

(1) Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Penyedia Jasa dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan ketentuan Undang-Undang PPh.

(2) Penghasilan lain yang diterima atau diperoleh Penyedia Jasa dari luar usaha Jasa Konstruksi dikenakan tarif berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang PPh.

(3) Keuntungan atau kerugian selisih kurs dari kegiatan usaha Jasa Konstruksi termasuk dalam perhitungan Nilai Kontrak Jasa konstruksi yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Pasal 8

Penyedia Jasa wajib melakukan pencatatan yang terpisah atas biaya yang timbul dari penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha selain usaha Jasa Konstruksi.

Pasal 9

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan, pemotongan, penyetoran, pelaporan, dan penatausahaan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.


Pasal 10

Terhadap kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Agustus 2008, untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak yang dilakukan sampai dengan tanggal 31 Desember 2008, pengenaan Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut:

a. atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dari usaha di bidang jasa konstruksi ditentukan sebagai berikut:

1) dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
2) dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final bagi Wajib Pajak yang memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang, serta yang mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

b. atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 1) ditentukan sebagai berikut:

1) dikenakan pemotongan pajak berdasarkan ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan oleh pengguna jasa dalam hal pengguna jasa adalah badan Pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, bentuk usaha tetap, atau orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 tersebut pada saat pembayaran uang muka dan termin;
2) dikenakan pajak berdasarkan ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dalam hal pemberi penghasilan adalah pengguna jasa lainnya selain sebagaimana dimaksud dalam angka 1).

c. atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 2) ditentukan sebagai berikut:

1) dikenakan pemotongan pajak yang bersifat final sesuai dengan ketentuan dalam huruf d oleh pengguna jasa, dalam hal pengguna jasa adalah badan Pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, bentuk usaha tetap, atau orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan pada saat pembayaran uang muka dan termin;
2) dikenakan pajak yang bersifat final sesuai ketentuan dalam huruf d, dengan cara menyetor sendiri Pajak Penghasilan yang terutang pada saat menerima pembayaran uang muka dan termin, dalam hal pemberi penghasilan adalah pengguna jasa lainnya selain yang dimaksud dalam angka 1).

d. Besarnya Pajak Penghasilan yang terutang dan harus dipotong oleh pengguna jasa atau disetor sendiri oleh Wajib Pajak penyedia jasa yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam huruf c ditetapkan sebagai berikut:

1) 4% (empat persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa perencanaan konstruksi;
2) 2% (dua persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pelaksanaan konstruksi; atau
3) 4% (empat persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pengawasan konstruksi.

Pasal 10A

Terhadap kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Agustus 2008, untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak dilakukan setelah tanggal 31 Desember 2008 berlaku ketentuan sebagai berikut:

a. dalam hal berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan ditandatangani oleh Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa sampai dengan tanggal 31 Desember 2008, pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10;
b. dalam hal berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan ditandatangani oleh Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa sejak tanggal 1 Januari 2009 atau penyelesaian pekerjaan tidak menggunakan berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan, pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi.

Pasal 10B

Terhadap kontrak yang ditandatangani sejak tanggal 1 Agustus 2008, pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi.

Pasal 10C

Kerugian dari usaha Jasa Konstruksi yang masih tersisa sampai dengan Tahun Pajak 2008 hanya dapat dikompensasikan sampai dengan Tahun Pajak 2008.

Pasal II

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Agustus 2008.
Workshop
Perhitungan PPh Pasal 21 Tahun 2009
Sesuai PER-31/PJ/2009
dan ;

SPT Masa PPh Ps 21 Baru
sesuai PER-32/PJ/2009 yang berlaku mulai MASA JULI 2009..!!


WAKTU :
Batch 1, 20 Juni 2009
Batch 2, 11 Juli 2009
Batch 3, 25 Juli 2009

TEMPAT :
GrandKemang, Hotel (Tempat Terbatas...!!!)
Jl. Kemang Raya 2H
Kebayoran Baru
Jakarta 12730

HARGA :

Normal Rp 1.300.000,- /peserta, termasuk makan siang, 2 kali snack,
sertifikat, bahan modul,
++ FREE SOFTWARE e-SPT versi TERBARU

KHUSUS :
Peserta 2 orang dari satu perusahaan/instansi : Rp. 1.100.000,-/peserta

LATAR BELAKANG
1. Seiring dengan telah terbitnya 2(dua) Undang-Undang Perpajakan Baru,
sampai saat ini masih banyak kesalahan yang dilakukan oleh Wajib Pajak karena

kurangnya pemahaman mengenai Undang-Undang Baru tersebut.

2. Banyaknya perubahan aturan mengenai Pemotongan PPh Pasal 21 mulai tahun
pajak 2009. Perubahan tersebut antara lain:
- Penghitungan PPh Ps 21 Pegawai Tetap, Pegawai tidak tetap dan Bukan
Pegawai;
- PTKP, Biaya Jabatan, Biaya Pensiun;
- Tarif PPh;
- Tidak ber-NPWP dipotong Tarif lebih tinggi;
- PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (Stimulus PPh untuk karyawan);
- SPT Masa PPh Ps 21 Baru sesuai PER-32/PJ/2009 yang harus dibuat mulai masa JULI 2009.

TARGET :
Setelah mengikuti pelatihan ini diharapkan para peserta :
1. Dapat memahami dengan benar Undang-Undang KUP baru dan Undang-Undang PPh Baru sehingga tidak akan terjadi kesalahan penerapan didalam praktek.
2. Dapat memahami teknis penghitungan PPh Pasal 21 tahun 2009 dan dapat
melakukan pengisian SPT Masa PPh Pasal 21 yang Baru sesuai PER-32/PJ/2009 dengan.

MATERI :

1. Pokok-Pokok Perubahan Undang-Undang KUP baru (UU Nomor 28 Tahun 2007)
- Penambahan Definisi
- Nomor Pokok Wajib Pajak
- Surat Pemberitahuan (SPT)
- Sanksi Administrasi
- Keberatan dan Banding
- dan sebagainya


2. Pokok-Pokok Perubahan Undang-Undang PPh Baru (UU Nomor 36 Tahun 2008)
- Subjek Pajak dan Objek Pajak
- PTKP, Tarif Pajak
- Biaya Pengurang Penghasilan Bruto
- Norma Penghitungan Penghasilan Neto
- Pemotongan dan Pemungutan (PPh Pasal 21, 22, 23, 26)
- dan sebagainya

3. Penghitungan PPh Pasal 21 Tahun 2009
- Pegawai Tetap (ekspatriat, karyawan meninggal, mulai kerja tengah tahun

dan Lain-lain)
- Pegawai Tidak Tetap/ Lepas (harian, mingguan, borongan, dan lain-lain)
- Bukan Pegawai (distributor, petugas dinas luar asuransi, penjaja barang
dagangan dan lain-lain)
- Tenaga Ahli (dokter, notaris, pengacara dan lain-lain)
- Pesangon

4. Pengisian SPT Masa PPh Pasal 21 Baru - sesuai PER-32/PJ/2009;
- SPT Induk 1721
- SPT 1721-I
- SPT 1721-II
- SPT 1721-T
- Bukti Potong PPh Ps 21 Final
- Bukti Potong PPh Ps 21 Non Final

5. Diskusi Interaktif


Info Lebih Lanjut Hubungi Kami :

TRAIN4BEST
Consulting, Training dan Assessment
Jl. Duren Tiga Barat 1 No. 1
Jakarta 12760
Phone : 021-98265288 / 96323283 (Dwi / Tuti / Lina)
Fax : 021-7946480
Email : info@train4best.com

Perlakuan PPh atas Penghasilan WNI Yang Bekerja Sebagai Official di PBB - SE-57/PJ/2009

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 57/PJ/2009

TENTANG

PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN WARGA NEGARA INDONESIA
YANG BEKERJA SEBAGAI OFFICIAL PADA BADAN-BADAN INTERNASIONAL
DARI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan perihal perlakuan Pajak Penghasilan atas penghasilan Warga Negara Indonesia yang bekerja sebagai official pada badan-badan internasional dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:

1. Berdasarkan Section 18 (b) Convention on the Privileges and Immunities of the United Nations, 1946, diatur bahwa official of the United Nations shall be exempt from taxation on the salaries and emoluments paid to them by the United Nations.

2. Berdasarkan Convention on the Privileges and Immunities of the Specialized Agencies, 1947, antara lain mengatur:

1. Section 1, the words "special agencies" mean:

1) The International Labour Organization;
2) The Food and Agriculture Organization of the United Nations;
3) The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization;
4) The International Civil Aviation Organization;
5) The International Monetary Fund;
6) The International Bank for Reconstruction and Development;
7) The World Health Organization;
8) The International Telecomunications Union; and
9) Any other agencies in any relation with the United Nations in accordance with Articles 57 and 63 of the Charter.

2. Section 19 (b), official of the special agencies enjoy the same exemption from taxation in respect of salaries and emoluments paid to them by specialized agencies and on the same condition as are enjoyed by official of the United Nations.

3. Indonesia sudah mengesahkan Convention on the Privileges and Immunities of the United Nations, 1946 dan Convention on the Privileges and Immunities of the Specialized Agencies, 1947 dengan Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 1969 tentang Pengesahan Convention on the Privileges and Immunities of the United Nations, 1946; Convention on the Privileges and Immunities of the Specialized Agencies,1947; Agreement on the Privileges and Immunities of the International Atomic Energy Agencies, 1959.

4. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas ditegaskan bahwa Warga Negara Indonesia yang bekerja sebagai official pada dan hanya memperoleh penghasilan dari badan-badan internasional dari Perserikatan Bangsa-Bangsa mendapat perlakuan perpajakan yang sama sebagaimana dinikmati oleh official dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu atas penghasilan yang diterima bukan merupakan objek pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan.

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.



Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Mei 2009
Direktur Jenderal,

ttd.

Darmin Nasution
NIP 130605098

PMK-96/PMK.03/2009 Daftar Penyusutan Aktiva 2009

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 96/PMK.03/2009

TENTANG

JENIS-JENIS HARTA YANG TERMASUK DALAM KELOMPOK HARTA
BERWUJUD BUKAN BANGUNAN UNTUK KEPERLUAN PENYUSUTAN


(1) Jenis-jenis harta berwujud bukan bangunan yang tidak tercantum dalam Lampiran I, Lampiran II, Lampiran III, dan Lampiran IV, untuk kepentingan penyusutan digunakan masa manfaat dalam Kelompok 3.

(2) Dikecualikan dari ketentuan angka (1)diatas, Wajib Pajak dapat memperoleh penetapan masa manfaat atas jenis-jenis harta berwujud bukan bangunan sesuai dengan masa manfaat yang sesungguhnya.

(3) Untuk memperoleh penetapan , Wajib Pajak harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan menunjukkan masa manfaat yang sesungguhnya jenis-jenis harta berwujud bukan bangunan.

(4) Dalam hal permohonan penetapan ditolak, Wajib Pajak menggunakan masa manfaat jenis-jenis harta berwujud bukan bangunan sebagaimana dimaksud pada angka (1).

(5) Pada saat berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 520/KMK.04/2000 tentang Jenis-jenis Harta Yang Termasuk Dalam Kelompok Harta Berwujud Bukan Bangunan Untuk Keperluan Penyusutan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan nomor KMK.138/KMK.03/2002, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

untuk melihat Jenis Aktiva tersebut silakan klik disini...

Bentuk Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Baru - PER-32/PJ/2009

Sehubungan dengan telah dikeluarkannya peraturan :
PMK-252/PMK.03/2008 dan PER-31/PJ/2009
Mengenai :
Tatacara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi


maka pada tanggal 25 Mei 2009 telah diterbitkan :

Peraturan Dirjen Pajak Nomor : PER-32/PJ/2009

Tentang

Bentuk Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dan
Bukti Pemotongan / Pemungutan PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26

Mulai berlaku untuk Masa Juli 2009


DOWNLOAD :
- PER-32/PJ/2009

DOWNLOAD SPT MASA 21 - EXCEL VERSION

DOWNLOAD SPT MASA 21 - WORD VERSION


PETUNJUK PENGISIAN SURAT PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26

Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007, hal-hal yang perlu diperhatikan oleh Wajib Pajak adalah sebagai berikut:

1. Setiap Wajib Pajak wajib mengisi, menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas.

2. Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 ditandatangani oleh Wajib Pajak/Pengurus/Direksi atau Kuasa Wajib Pajak. SPT yang ditandatangani oleh Kuasa Wajib Pajak harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus.

3. SPT Masa PPh Pasal 21 dianggap tidak disampaikan apabila tidak ditandatangani atau tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 534/KMK.04/2000, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.03/2007 dan Keputusan Direktur Jendera2l Pajak Nomor KEP-214/PJ./2001.

4. PPh Pasal 21 dibayarkan/disetorkan paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan dilaporkan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007.

5. Pembayaran/penyetoran PPh yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan yang dihitung dari saat jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

6. SPT Masa PPh Pasal 21 yang disampaikan setelah jangka waktu yang ditetapkan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp100.000 (seratus ribu rupiah).


PETUNJUK UMUM

SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 menggunakan format yang dapat dibaca dengan mesin scanner, oleh karena itu perlu diperhatikan hal-hal berikut ini:

- Jika Wajib Pajak membuat sendiri formulir SPT ini, jangan lupa untuk membuat tanda ■ (segi empat hitam) di keempat sudut kertas sebagai pembatas agar dokumen dapat di-scan.

- Kertas berukuran F4/Folio (8.5 x 13 inchi) dengan berat minimal 70 gram.

- Kertas tidak boleh dilipat atau kusut.

- Kolom Identitas:

Bagi Wajib Pajak yang mengisi menggunakan komputer atau tulis tangan, semua isian identitas harus ditulis di dalam kotak-kotak yang disediakan.
Bagi Wajib Pajak yang mengisi menggunakan mesin ketik, NPWP harus ditulis di dalam kotak-kotak sedangkan nama dan alamat Wajib Pajak dapat ditulis dengan mengabaikan kotak-kotak namun tidak boleh melewati batas kotak paling kanan.

- Kolom-kolom nilai rupiah atau US dollar harus diisi tanpa nilai desimal.
Contoh : dalam menuliskan sepuluh juta rupiah adalah: 10.000.000 (BUKAN 10.000.000,00)
dalam menuliskan seratus dua puluh lima rupiah lima puluh sen adalah: 125 (BUKAN 125,50)


PETUNJUK KHUSUS

1721
Wajib disampaikan tiap bulan

1721-I
Formulir 1721 – I wajib disampaikan hanya pada Masa Pajak Desember. Pemotong Pajak tidak perlu menyampaikan formulir 1721-A1/A2 sebagai lampiran dari SPT Masa PPh Pasal 21dan/atau Pasal26, namun wajib memberikan bukti pemotongan 1721-A1/A2 kepada Pegawai Tetap atau Penerima Pensiun atau Tunjangan Hari Tua/Tabungan Hari Tua/Jaminan Hari Tua maupun kepada Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI, Polri, Pejabat Negara dan Pensiunannya.

1721-II
Formulir 1721 – II wajib disampaikan hanya pada saat ada Pegawai Tetap yang keluar dan/atau ada Pegawai Tetap yang masuk dan/atau ada Pegawai yang baru memiliki NPWP

1721-T
Formulir 1721 – T wajib dilampirkan pada saat pertama kali Wajib Pajak berkewajiban untuk menyampaikan SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26.
Dalam hal Wajib Pajak telah berkewajiban untuk menyampaikan SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, Formulir 1721 - T wajib dilampirkan pada Masa Pajak Juli 2009.


PPh atas Penghasilan Persewaan Tanah dan/atau Bangunan

Dasar Hukum

1. PP 29 TAHUN 1996 yang telah dubah terakhir dengan PP-5 TAHUN 2002 tentang Pembayaran PPh Atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
2. KMK-394/KMK.04/1996 yang telah diubah terakhir dengan KMK-120/KMK.03/2002 Tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pemotongan PPh Atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
3. KEP - 227/PJ./2002 Tentang tatacara Pemotongan dan Pembayaran, serta Pelaporan PPh Atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
4. KEP - 50/PJ./1996 Tentang Penunjukan WP OP dalam negeri tertentu sebagai pemotong PPh Atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan

Pengertian

Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan sehubungan dengan persewaan tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, atau pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan bangunan industri, terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Objek dan tarif

Besarnya Pajak Penghasilan yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi maupun Wajib Pajak badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan atau bangunan dan bersifat final

Yang dimaksud dengan jumlah bruto nilai persewaan adalah semua jumlah yang dibayarkan atau terutang oleh pihak yang menyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan tanah dan atau bangunan yang disewa, termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanaan dan service charge baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan dengan perjanjian persewaan yang bersangkutan


Pemotong PPh

(1) Apabila penyewa adalah badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, kerjasama operasi, perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, dan orang pribadi yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, Pajak Penghasilan yang terutang wajib dipotong oleh penyewa. *)

(2) Apabila penyewa adalah orang pribadi atau bukan Subjek Pajak Penghasilan selain yang tersebut pada butir (1) maka Pajak Penghasilan yang wajib dibayar sendiri oleh pihak yang menyewakan **)

orang pribadi yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak
a. Akuntan, arsitek, dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas;
b. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan;
yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri.

Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tsb wajib memotong Pajak Penghasilan atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan.

Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Keputusan Penunjukan sebagai Pemotong Pajak Penghasilan atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri


Saat terutang

PPh atas Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan tsb terutang pada saat pembayaran atau terutangnya sewa

Tatacara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan

*) Dalam melaksanakan pemotongan Pajak Penghasilan persewaan tanah dan/atau bangunan tsb pihak penyewa wajib:
a. Memotong Pajak Penghasilan yang terutang pada saat pembayaran atau terutangnya sewa, tergantung peristiwa mana lebih dahulu terjadi;
b. Menyetor Pajak penghasilan yang terutang ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwin berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa;
c. Melaporkan pemotongan dan penyetoran Pajak penghasilan yang terutang ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan takwin berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa;

**) Dalam melaksanakan penyetoran sendiri Pajak Penghasilan atas persewaan tanah dan/atau bangunan tsb, pihak yang menyewakan wajib:
a. Menyetor Pajak penghasilan yang terutang ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan takwin berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa;
b. Melaporkan pemotongan dan penyetoran Pajak penghasilan yang terutang ke Kantor pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan takwin berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa;

Lain-Lain

Dalam pembukuan Wajib Pajak yang menyewakan, wajib dipisahkan antara penghasilan dan biaya yang berhubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan dengan penghasilan dan biaya lainnya.

Bagi Wajib Pajak yang semata-mata bergerak di bidang usaha persewaan tanah dan atau bangunan tidak diwajibkan membayar Pajak Penghasilan Pasal 25.

PPh Pasal 22 (Bagian 3)

lanjutan.......dari Bag 2

10. Pemungutan PPh Pasal 22 atas Penjualan Hasil Produksi Industri Baja

a. Dasar Hukum
KEP - 01/PJ./1996
KMK-254/KMK.03/2001 yang telah diubah terakhir dengan
PMK-210/PMK.03/2008

b. Pemungut PPh Pasal 22
Badan usaha yang bergerak di bidang industri baja yang merupakan industri hulu ditunjuk sebagai Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri.

Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Keputusan Penunjukan bagi badan usaha yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak, sebagai Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 dengan menggunakan formulir Penunjukan Wajib Pajak sebagai Pemungut

Dalam hal Pemungut Pajak mengolah atau memproses lebih lanjut sebagian atau seluruh hasil produksinya menjadi produk antara dan atau produk hilir sehingga badan usaha tersebut melakukan kegiatan produksi secara "integrated", maka PPh Pasal 22 dipungut atas penjualan produk hulu, produk antara, dan produk hilir.
.
c. Besarnya PPh Ps 22
Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 22 yang wajib dipungut oleh Pemungut Pajak pada saat penjualan hasil produksinya di dalam negeri adalah 0,3% (tiga persepuluh persen) dari Dasar Pengenaan Pajak PPN dan tidak bersifat final

d. Saat terutang
Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi industri semen terutang dan dipungut pada saat penjualan

Pemungut Pajak wajib memungut Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan kertas pada saat penjualan kertas di dalam negeri dilakukan.

e. Tatacara Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Ps 22
Pemungut Pajak wajib menyetorkan Pajak Penghasilan Pasal 22 yang dipungut selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro.

Pemungut Pajak, wajib menerbitkan Bukti Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dalam rangkap 3, yaitu :
a. lembar pertama untuk pembeli;
b. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak;
c. lembar ketiga sebagai arsip pemungut pajak yang bersangkutan.

Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 wajib menyampaikan laporan mengenai Pajak Penghasilan Pasal 22 yang telah dipungut dan telah disetor setiap bulan kepada Kantor Pelayanan Pajak di tempat kedudukan Pemungut Pajak, paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 22 yang dilampiri Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 dan lembar ketiga Surat
Setoran Pajak.

f. Dalam hal terjadi Retur
Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan produk industri baja yang dikembalikan (retur) setelah Masa Pajak terjadinya penjualan, dapat dikurangkan dari Pajak Penghasilan Pasal 22 terutang dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian produk tersebut, kecuali apabila dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian, industri baja menggantinya dengan produk yang sama, baik phisik maupun jumlah harganya.

Apabila terjadi pengembalian seperti tersebut diatas, pembeli wajib membuat Nota Retur dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian rangkap 3 (tiga) yaitu :
- lembar pertama dan lembar kedua : untuk Pemungut Pajak;
- lembar ketiga : untuk arsip Wajib Pajak (pembeli).
Nota Retur sekurang-kurangnya harus mencantumkan :
a. Nomor dan tanggal Nota Retur;
b. Nama, alamat, dan NPWP pembeli;
c. Nama, alamat, dan NPWP industri baja;
d. Nomor dan tanggal Faktur Pembelian baja yang dikembalikan;
e. Macam, jenis, kuantum dan harga baja yang dikembalikan;
f. Tanda tangan pembeli.

Pemungut Pajak wajib menyampaikan laporan mengenai Pajak Penghasilan Pasal 22 yang telah dipungut dan telah disetor setiap bulan kepada Kantor Pelayanan Pajak di tempat kedudukan Pemungut Pajak, selambat-lambatnya 20 hari setelah Masa Pajak berakhir, dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 22 yang dilampiri Daftar Bukti Pemungutan PPh Pasal 22, lembar kedua Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 , lembar kedua Nota Retur (apabila ada), lembar ketiga Surat Setoran Pajak.


12. Pemungutan PPh Pasal 22 atas Penjualan Hasil Produksi Industri Otomotif

a. Dasar Hukum
SE - 01/PJ.43/2004
KEP - 32/PJ./1995 telah dirubah terakhir dengan KEP - 65/PJ./1995
KMK-254/KMK.03/2001 yang telah diubah terakhir dengan
PMK-210/PMK.03/2008

b. Pemungut PPh Pasal 22
Badan Usaha yang bergerak dibidang industri otomotif ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih di dalam negeri.

Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Keputusan Penunjukan bagi badan usaha yang bergerak di bidang industri otomotif yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak, sebagai pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan kendaraan bermotor, dengan menggunakan formulir Penunjukan Wajib Pajak Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22.

c. Besarnya PPh Ps 22
Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 22 yang Wajib dipungut atas penjualan semua jenis kendaraan bermotor dimaksud pada Pasal 1 adalah 0,45% dari dasar pengenaan pajak (DPP) PPN.

Dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 penjualan kendaraan bermotor kepada :
a. Instansi Pemerintah;
b. Corps Diplomatik;
c. bukan Subjek pajak.

d. Saat terutang
Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan, terutang dan dipungut pada saat penjualan

e. Tatacara Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Ps 22
Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan kendaraan bermotor dipungut oleh Pemungut Pajak, pada saat penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri;

Atas pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 tsb, pemungut pajak wajib menerbitkan Bukti Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 yang dibuat dalam rangkap 3 (tiga) yaitu :
- lembar pertama : untuk Wajib pajak (pembeli);
- lembar kedua : disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak (dilampirkan pada SPT Masa PPh Pasal 22);
- lembar ketiga : untuk arsip pemungut pajak.

Pajak Penghasilan Pasal 22 yang telah dipungut harus disetor ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro oleh pemungut pajak selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.

Atas pemungutan dan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22, pemungut pajak setiap bulan wajib menyampaikan laporan kepada Kantor Pelayanan Pajak di tempat kedudukan pemungut pajak, selambat-lambatnya dua puluh hari setelah Masa Pajak berakhir, dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 22 ( oleh Badan Usaha Industri ) yang dilampiri Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 lembar kedua dan Surat Setoran Pajak lembar ketiga

13. Pemungutan PPh Pasal 22 atas bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas

a. Dasar Hukum
KEP - 417/PJ./2001
KMK-254/KMK.03/2001 yang telah diubah terakhir dengan
PMK-210/PMK.03/2008

b. Pemungut PPh Pasal 22
Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas

c. Besarnya tarif
Besarnya Pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi oleh Pertamina serta badan usaha lainnya yang bergerak dalam bidang bahan bakar minyak jenis premix, super TT dan gas adalah sebagai berikut:
SPBU Swastanisasi SPBU Pertamina
------------------------------------------------------
Premium 0,3% dari penjualan 0,25% dari penjualan
Solar 0,3% dari penjualan 0,25% dari penjualan
Premix/Super TT 0,3% dari penjualan 0,25% dari penjualan
Minyak Tanah 0,3 % dari penjualan
Gas LPG 0,3 % dari penjualan
Pelumas 0,3 % dari penjualan

Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh Pemungut Pajak atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas kepada :
a. penyalur/agen bersifat final;
b. selain penyalur/agen bersifat tidak final

d. Saat Terutang
Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang berupa bahan bakar minyak, gas, dan pelumas, dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang (delivery order).

e. Tatacara Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Ps 22
Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas dilaksanakan dengan cara pemungutan dan penyetoran oleh Pemungut Pajak atas nama pembeli ke bank persepsi atau Kantor Pos

Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi dilaksanakan dengan cara penyetoran sendiri oleh Wajib Pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (delivery order) ditebus.

Pelaksanaan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh Wajib Pajak menggunakan formulir Surat Setoran Pajak yang berlaku sebagai Bukti Pemungutan pajak.

Pemungut pajak harus menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir

14. Pemungutan PPh Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul

a. Dasar Hukum
PER - 23/PJ/2009
SE - 02/PJ.03/2009
KMK-254/KMK.03/2001 yang telah diubah terakhir dengan
PMK-210/PMK.03/2008


b. Pemungut PPh Pasal 22
Badan usaha industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan ditunjuk sebagai Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.

Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Keputusan Penunjukan bagi badan usaha industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak, sebagai Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22.

c. Besarnya PPh Pasal 22
Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 22 yang wajib dipungut atas pembelian bahan-bahan oleh pemungut adalah sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.

d. Saat Terutang
Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang pengumpul terutang dan dipungut pada saat pembelian

e. Tatacara Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Ps 22
Dalam melaksanakan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22, badan usaha industri dan eksportir selaku Pemungut Pajak wajib menerbitkan Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 dalam rangkap 3 (tiga) yaitu:
-lembar pertama : untuk penjual;
-lembar kedua : untuk disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak (dilampirkan pada SPT Masa PPh Pasal 22);
-lembar ketiga : sebagai arsip pemungut pajak yang bersangkutan

Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh pemungut dilakukan secara kolektif dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak.

Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 wajib menyetorkan Pajak Penghasilan Pasal 22 yang dipungut paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro.

Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 wajib menyampaikan laporan mengenai Pajak Penghasilan Pasal 22 yang telah dipungut dan telah disetor setiap bulan kepada Kantor Pelayanan Pajak di tempat kedudukan Pemungut Pajak, paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 22 yang dilampiri Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 dan lembar ketiga Surat
Setoran Pajak

15. Pemungutan PPh Pasal 22 atas Barang Sangat Mewah

a. Dasar Hukum
Pasal 22 ayat (1) UU No 36 tahun 2008
PMK-253/PMK.03/2008

b. Pemungut PPh Pasal 22.
Wajib Pajak badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

c. Barang yang tergolong sangat Mewah

1) pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah);

2) kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah);

3) rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dan luas bangunan lebih dari 500m2 (lima ratus meter persegi);

4) apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dan/atau luas bangunan lebih dari 400m2 (empat ratus meter persegi);

5) kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, spart utility vehicle (suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc.

d. Saat Terutang
Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib memungut Pajak Penghasilan pada saat melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah

e. Besarnya Tarif PPh Ps 22
Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar 5% (lima persen) dari harga jual tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM).

Pajak Penghasilan Ps 22 ini dapat diperhitungkan sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang melakukan barang yang tergolong sangat mewah.

f. Tatacara Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Ps 22
Pemungut Pajak wajib memberikan tanda bukti pemungutan kepada orang pribadi atau badan yang dipungut setiap melakukan pemungutan.

Pemungut Pajak wajib menyetorkan Pajak Penghasilan yang dipungut ke Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.

Pemungut Pajak wajib melaporkan hasil pemungutannya dengan mengunakan Surat Pemberitahuan Masa ke Kantor Pelayanan Pajak paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.

T A M A T

PPh Pasal 22 (Bagian 2)

sambungan......

6. Pemungutan Pasal 22 atas Impor

a) Pemungut
Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang

b) Besarnya Pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor :
i. yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 2,5% (dua setengah persen) dari nilai impor;
ii. yang tidak menggunakan API, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor;
iii. yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang;
iv. Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan API sebagaimana dimaksud pada poin (i) sebesar 0,5% (setengah persen) dari nilai impor Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk yaitu Cost Insurance and Freight (CIP) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya dengan dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan pabean di bidang impor

c) Saat Terutang dan Pelunasan
Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, maka Pajak Penghasilan Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB).

d) Tatacara Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Ps 22 Impor

Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang oleh Pemungut pajak dilaksanakan dengan cara penyetoran oleh importir yang bersangkutan ke bank devisa, atau bank persepsi, atau bendahara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menggunakan formulir Surat Setoran Pajak yang berlaku sebagai Bukti Pemungutan pajak.

Pelaksanaan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 tersebut menggunakan formulir Surat Setoran Pajak yang berlaku sebagai Bukti Pemungutan pajak. (khusus untuk DJBC penyetoran paling lambat dilakukan satu hari setelah pemungutan dilakukan) Pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 impor merupakan pembayaran pendahuluan yang dapat diperhitungkan dengan pajak terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.


7. Pemungutan PPh Pasal 22 atas Pembelian Barang oleh Bendaharawan Pemerintah, BUMN dan BUMD

Tarif PPh Pasal 22 :
a) Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Bendahara Pemerintah baik di tingkat Pusat ataupun di tingkat Daerah, yang melakukan pembayaran atas pembelian barang

b) Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan/atau belanja daerah (APBD), kecuali badan-badan tersebut pada huruf c

c) Badan-badan berikut :
i. Bank Indonesia (BI),
ii. PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA),
iii. Perum Badan Urusan Logistik (BULOG),
iv. PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom),
v. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN),
vi. PT Garuda Indonesia,
vii. PT Indosat,
viii. PT Krakatau Steel,
ix. PT Pertamina, dan
x. bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber dari APBN maupun non-APBN

Besarnya pungutan PPh Pasal 22 atas pembelian barang tersebut sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian

Saat Terutang dan Pemungutan :
Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang tersebut diatas terutang dan dipungut pada saat pembayaran


Tatacara Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Ps 22
Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penyerahan barang oleh Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud diatas dilaksanakan dengan cara pemungutan dan penyetoran oleh Pemungut Pajak atas nama Wajib Pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos

• Pajak Penghasilan Pasal 22 sesuai Nomor 7 huruf (a) dan huruf (b) atas pembelian barang tersebut harus disetor oleh pemungut ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang.
• Pajak Penghasilan Pasal 22 sesuai huruf c atas pembelian barang tersebut harus disetor oleh pemungut ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya.


Pelaksanaan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 tersebut menggunakan formulir Surat Setoran Pajak yang berlaku sebagai Bukti Pemungutan pajak. Pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 tersebut merupakan pembayaran pendahuluan yang dapat diperhitungkan dengan pajak terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan




8. Pemungutan PPh Pasal 22 atas Penjualan Hasil Produksi Industri Kertas

a. Dasar Hukum
KEP - 69/PJ./1995

KMK-254/KMK.03/2001 yang telah diubah terakhir dengan PMK-210/PMK.03/2008

b. Pemungut PPh Pasal 22

Badan usaha yang bergerak dibidang industri kertas atas penjualan semua jenis kertas di dalam negeri.
Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Keputusan Penunjukan bagi badan usaha yang bergerak dibidang industri kertas yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan kertas di dalam negeri, dengan menggunakan formulir Penunjukan Wajib Pajak Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22.

c. Besarnya PPh Ps 22
Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 22 yang wajib dipungut oleh Industri Kertas pada saat penjualan kertas di dalam negeri adalah 0,1% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN.

d. Saat terutang

Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi industri kertas terutang dan dipungut pada saat penjualan
Pemungut Pajak wajib memungut Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan kertas pada saat penjualan kertas di dalam negeri dilakukan.

e. Tatacara Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Ps 22

PPh Ps 22 atas hasil penjualan hasil produksi disetor oleh pemungut atas nama wajib pajak ke bank persepsi atau kantor pos paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP.

Pemungut Pajak, wajib menerbitkan Bukti Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dalam rangkap 3, yaitu :
a. lembar pertama untuk pembeli;

b. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak;
c. lembar ketiga sebagai arsip pemungut pajak yang bersangkutan.


Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 wajib menyampaikan laporan mengenai Pajak Penghasilan Pasal 22 yang telah dipungut dan telah disetor setiap bulan kepada Kantor Pelayanan Pajak di tempat kedudukan Pemungut Pajak, paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 22 yang dilampiri Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 dan lembar ketiga Surat
Setoran Pajak.

9. Pemungutan PPh Pasal 22 atas Penjualan Hasil Produksi Industri Semen

a. Dasar Hukum

KEP - 401/PJ./2001
KMK-254/KMK.03/2001 yang telah diubah terakhir dengan PMK-210/PMK.03/2008

b. Pemungut PPh Pasal 22

Badan usaha yang bergerak dibidang industri semen atas penjualan semua jenis semen di dalam negeri.
Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Keputusan Penunjukan bagi badan usaha yang bergerak dibidang industri semen yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan semen di dalam negeri, dengan menggunakan formulir Penunjukan Wajib Pajak Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22.

c. Besarnya PPh Ps 22
Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 22 yang wajib dipungut oleh Industri Kertas pada saat penjualan kertas di dalam negeri adalah 0,25% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN.

d. Saat terutang

Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi industri semen terutang dan dipungut pada saat penjualan Pemungut Pajak wajib memungut Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan kertas pada saat penjualan kertas di dalam negeri dilakukan.

e. Tatacara Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Ps 22
PPh Ps 22 atas hasil penjualan hasil produksi disetor oleh pemungut atas nama wajib pajak ke bank persepsi atau kantor pos paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP.

Pemungut Pajak, wajib menerbitkan Bukti Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dalam rangkap 3, yaitu :
a. lembar pertama untuk pembeli;
b. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak;
c. lembar ketiga sebagai arsip pemungut pajak yang bersangkutan.
Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 wajib menyampaikan laporan mengenai Pajak Penghasilan Pasal 22 yang telah dipungut dan telah disetor setiap bulan kepada Kantor Pelayanan Pajak di tempat kedudukan Pemungut Pajak, paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 22 yang dilampiri Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 dan lembar ketiga Surat Setoran Pajak.


(Bersambung...)

anda belum membaca PPh Ps 22 Bagian 1..? klik disini