Tatacara penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan/revaluasi aktiva tetap

Merupakan permohonan WP untuk melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan/revaluasi aktiva tetap
sesuai peraturan terakhir :
PMK-79/PMK.03/2008, 23 Mei 2008 dan
PER-12/PJ./2009, 23 Pebruari 2009


Syarat :

- Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk Usaha Tetap (BUT), tidak termasuk perusahaan yang memperoleh ijin menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang Dolar Amerika Serikat, dan

- Telah memenuhi semua kewajiban pajaknya sampai dengan masa pajak terakhir sebelum masa pajak dilakukannya penilaian kembali, dan

- Mendapat persetujuan Diretur Jenderal Pajak.

Cara :

Permohonan diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah DJP yang membawahi Kantor Pelayanan Pajak tempat Perusahaan terdaftar (KPP Domisili), dengan menggunakan formulir Lampiran I PER-12/PJ/2009.

Permohonan harus dilengkapi dengan:

1. Fotocopy surat ijin usaha perusahaan jasa penilai atau ahli penilai, yang memperoleh ijin dari Pemerintah, yang dilegalisir oleh instansi Pemerintah yang berwenang menerbitkan surat ijin usaha tersebut;

2. Laporan penilaian Perusahaan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai yang memperoleh ijin dari Pemerintah;

3. Daftar Penilaian Kembali Aktita Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II PER-12/PJ/2009

4. Laporaan Keuangan tahun buku terakhir sebelum penilaian kembali tetap perusahaan yang telah diaudit akuntan publik.

Jangka waktu penyelesaian

Paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya permohonan perusahaan


Mengangsur Pembayaran PPh Final atas Revaluasi

Perusahaan yang dalam kondisi keuangannya tidak memungkinkan untuk melunasi sekalgus pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final yang terutang dalam rangka penilalan kembali aktiva tetap dapat mengajukan permohonan pembayaran secara angsuran paling lama untuk 12 (dua belas) bulan kepada Kepala Kantor Wilayah DJP dengan menggunakan formulir Lampiran V PER-12/PJ/2009 .

Dasar Hukum
PMK-79/PMK.03/2008, 23 Mei 2008
TentangPENILAIAN KEMBALI AKTIVA TETAP PERUSAHAAN UNTUK TUJUAN PERPAJAKAN
selengkapnya......

PER-12/PJ./2009, 23 Pebruari 2009
Tentang
Tata Cara Pengajuan Permohonan Dan Pengadministrasian Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk tujuan Perpajakan
selengkapnya......


Mengenai teknis bagaimana tatacara melakukan revaluasi / penilaian kembali aktiva tersebut dapat di baca disini

Pengertian Subjek Pajak




Menurut Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1983, sebagaimana telah dirubah dan disempurnakan terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008- Pajak Penghasilan, ”Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas Penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak”.


Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (1) nya dijelaskan, bahwa yang menjadi subjek pajak dalam Pajak Penghasilan adalah :


a. Orang Pribadi (Perseorangan) ;
b. Warisan yang belum terbagi, sebagai satu kesatuan.
c. Badan ;
d. Bentuk Usaha Tetap (BUT).



Penjelasan selanjutnya Pasal 2 ayat (1) adalah:

Orang Pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal di Indonesia, atau pun tidak bertempat tinggal di Indonesia.



Warisan sebagai Subjek Pajak, merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak dikemudian hari, ini menjadi dasar agar pengenaan pajak dari warisan tersebut tetap terjamin, berhubung misalnya yang punya harta (warisan) semasa hidup tidak menetapkan siapa yang bertanggung jawab dikemudian hari apabila yang bersangkutan meninggal dunia. Contoh : Ahmad semasa hidup memiliki usaha bengkel mobil yang selalu tetap memenuhi kewajiban pajaknya setiap tahun. Suatu saat Ahmad meninggal, harta (warisan berupa bengkel mobil) belum dibagikan kepada ahli waris, maka selama belum dibagikan harta (bengkel mobil) tersebut, berstatus sebagai subjek pajak. Apabila harta (bengkel mobil) dimaksud, telah dibagikan (ditetapkan) pemilik barunya, maka warisan (harta) tersebut berakhir kedudukannya sebagai subjek pajak. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-161/PJ./2001, Tgl 21 Pebruari 2001, Tentang Jangka Waktu Pendaftaran, Pelaporan Kegiatan Usaha, dan Tatacara Penghapusan NPWP, serta Pengukuhan Dan Pencabutan PKP, pada pasal 10 menyebutkan, bahwa dalam hal wajib pajak yang telah memiliki NPWP meninggal dunia, dan meninggalkan warisan yang belum terbagi, maka warisan yang belum terbagi tadi kedudukannya sebagai subjek pajak, menggunakan NPWP dari wajib pajak yang meninggal dunia, dan ahli warisnya wajib mengisi formulir yang ditentukan, dan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak (PKP)nya, tidak diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), sebagaimana ditegaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-10/PJ.41/1996, Tgl 12 Pebruari 1996.


Pengertian Badan sebagai subjek pajak, adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan satu kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha, yang meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer (CV), Perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara/Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, Firma, Kongsi, Koperasi, Dana Pensiun, Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan, Organisasi masa, Orgaisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, Lembaga, Bentuk Usaha Tetap, dan bentuk badan lainnya, termasuk Reksa dana.


Dalam UU ini, Bentuk Usaha Tetap ditentukan sebagai subjek pajak tersendiri sebagai Subjek Pajak Luar Negeri, sekalipun tatacara pengenaannya serta ketentuan administrasi perpajakannya sama dengan wajib pajak dalam negeri.



Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, merupakan Subjek Pajak, tanpa memperhatikan nama dan bentuknya, sehingga setiap unit dari badan pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak. Sebagai subjek pajak perusahaan Reksadana, baik yang berbentuk perseroan terbatas, maupun bentuk lainnya, termasuk dalam pengertian badan. Sedangkan pengertian perkumpulan termasuk pula assosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.



Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (5), UU No. 36 Tahun 2008-PPh, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Bentuk Usaha Tetap, adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, atau yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:


a. Tempat kedudukan manajemen ;
b. Cabang Perusahaan ;
c. Kantor Perwakilan ;
d. Gedung Kantor ;
e. Pabrik ;
f. Bengkel ;
g. Gudang ;
h. Ruang untuk promosi dan penjualan.
i. Pertambangan dan penggalian sumber alam ;
j Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi ;
k. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan ;
m. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12(dua belas) bln;
n. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas ;
o. Agen atau pegawai perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima premi asuransi atau menanggung resiko di Indonesia ; dan
p. Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan usaha melalui internet.

Seterusnya menurut penjelasan pasal 2 ayat (5) UU No. 36 Tahun 2008, menyatakan bahwa suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (”place of bussiness”), yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated equipment), yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.


Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia, apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha, atau melakukan kegiatan di Indonesia, menggunakan, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri.

Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat tinggal diluar Indonesia, dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia, apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi di Indonesia, atau menanggung resiko di Indonesia melalui pegawai atau perwakilan atau agennya di Indonesia.
Menanggung resiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan resiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, atau berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.


Selanjutnya dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) huruf b, UU No. 36 Tahun 2008, unit usaha tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria berikut, tidak termasuk sebagai subjek pajak yaitu :
a. Dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD.
c. Penerimaan lembaga tersebut dimasukan dalam anggaran pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
d. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan funfsional negara.
Apabila suatu badan/lembaga memenuhi syarat–syarat tersebut diatas, maka ia tidak termasuk subjek pajak penghasilan. Sebalikya apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, maka badan/lembaga tersebut adalah subjek pajak pada pajak penghasilan.






Tidak Termasuk sebagai Subjek Pajak



Pengecualian sebagai subjek pajak diatur dalam Psl 3 UU No. 36 Thn 2008, dimana dalam pasal tersebut dikemukakan bahwa yang tidak termasuk sebagai Subjek Pajak adalah :

a. Kantor Perwakilan Negara Asing ;
b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka, yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat :
- Bukan Warga Negara Indonesia;
- Tidak menerima penghasilan lain diluar tugas dan jabatannya;
- Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan yang sama (azas timbal balik).
c. Organisasi-organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan (terakhir dengan Kep. MK 601/KMK.03/2005, dengan syarat :
1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan
2. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia, selain dari pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.
d. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan (sebagaimana dimaksud huruf c), dengan syarat bukan WNI, dan di Indonesia tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Penjelasan Psl 3 huruf (a) dan (b) tersebut diatas, menerangkan bahwa sesuai dengan kelaziman yang berlaku secara Internasional, bahwa badan perwakilan negara asing beserta pejabat-pejabatnya, serta orang yang diperbantukan, serta tinggal bersama mereka dengan syarat bukan WNI, tidak melakukan ke giatan lain, serta negara asing tersebut memberikan perlakauan yang sama (azas timbal balik), dikecualikan sebagai subjek pajak. Pengecualian tersebut tidak berlaku, apabila mereka memperoleh penghasilan lain di Indonesia, diluar jabatannya atau mereka adalah WNI.


Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing, memperoleh penghasilan lain diluar jabatannya, maka ia termasuk subjek pajak yang dapat dikenakan pajak atas penghasilan tesebut. Namun apabila negara asal pejabat tersebut memberikan pembebasan pajak kepada perwakilan Indonesia, atas penghasilan lain diluar tugas dan jabatannya, maka kembali lagi berlaku azas timbal balik.


Ketentuan lebih lanjut mengenai Psl 3 huruf (c) dan (d), diatur lebih lanjut dalam KMK seperti disebut diatas. Yang dimaksud dengan organisasi Internasional adalah organisasi/badan/lembaga/asosiasi /perhimpunan/forum antar pemerintah atau non pemerintah ygbertujuan untuk meningkatkan kerjasama Internasional dan dibentuk dengan aturan tertentu atau kesepakatan bersama, sedangkan yang dimaksud dengan pejabat perwakilan organisasi Internasional adalah pejabat yang diangkat langsung oleh induk organisasi Internasional yang bersangkutan untuk menjalankan tugas atau jabatan dalam organisasi tersebut di Indonsia.

Selanjutnya dikemukakan bahwa organisasi Internasional bukan merupakan subjek pajak penghasilan apabila memenuhi syarat sebagai berikut ;
a. Indonesia menjadi anggota organisasi didalamnya dan;
b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada Pemerintah yang dananya berasal dari iuran anggota.


Organisasi Internasional yang berbentuk kerjasama tehnik dan atau kebudayaan bukan merupakan subjek pajak, Pajak Penghasilan apabila memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Kerjasama tehnik tsb memberi manfaat pada negara/Pemerintah Indonesia;
b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.


Pejabat perwakilan dari organisasi Internasional tersebut diatas, bukan merupakan subjek pajak penghasilan, apabila memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Bukan Warga Negara Indonesia ; dan
b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Organisasi Internasional dan pejabat perwakilan organisasi Internasional yang tidak memenuhi syarat tersebut diatas, dikenakan Pajak Penghasilan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Misalnya seorang pejabat perwakilan organisasi Internasional diluar tugas pokoknya contoh menjadi pengajar bahasa asing di lembaga kursus swasta, atau pembicara pada suatu seminar, kemudian mendapat honor, maka honor tersebut dikenakan pemotongan PPh Psl 21, atau Psl 26, oleh penyelenggaranya.

Mengenai Organisasi Internasional yang dikecualikan sebagai subjek pajak, seperti dimaksud diatas, tidak diperinci dalam modul ini, karena terlalu banyak dan kurang efisien, tetapi secara garis besar dapat disebut disini yaitu :
I. Badan-Badan Internasional dari PBB (terdapat 15 organisasi)
II. Colombo Plan ( ada 8 organisasi)
III. Kerjasama Tehnik (terdapat 18 kerjasama tehnik)
IV. Kerjasama Kebudayaan (ada 4 kerjasama kebudyaan)
V. Organisasi –Organisasi Internasional lainnya (terdapat 54 badan)
VI. Organisasi Swasta Internasional ( terdapat 18 organisasi).
Apabila ada organisasi internasional, tapi tidak termasuk dalam daftar dimaksud, maka organisasi internasional tersebut menjadi subjek pajak.

DJPU Selenggarakan Sosialisai SBSN (Sukuk Negara)

Jakarta, 18/02/09 – Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) menyelenggarakan Sosialisasi “Surat Berharga Syariah Negara (Sukuk Negara) : Instrumen Investasi yang Aman dan Menguntungkan” pada hari ini, Rabu (18/02) di Flores Ballroom Hotel Borobudur Jakarta.
Peserta sosialisasi terdiri dari para stakeholders di lingkungan Departemen Keuangan, Kementerian Negara/Lembaga, Perguruan Tinggi, Asosiasi dan Pemerintah Daerah se-Jabodetabek. Hadir sebagai pembicara Direktur Pembiayaan Syariah DJPU Dahlan Siamat, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA serta Kepala Subdit Analisis Keuangan dan Pasar SBSN DJPU Fatati Sriwahyuni.
Para pembicara menyampaikan presentasi dan penjelasan kepada para peserta dengan mengusung tiga topik utama yang berkaitan dengan SBSN (Sukuk Negara).

Pertama, Surat Berharga Syariah Negara/Sukuk Negara sebagai Instrumen Investasi dan Sumber Pembiayaan Fiskal oleh Direktur Pembiayaan Syariah DJPU.

Kedua, Sukuk Negara: Instrumen Investasi Berbasis Syariah yang Aman dan Menguntungkan oleh Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Depag.

Ketiga, Aspek Hukum SBSN oleh Kepala Subdit Analisis Keuangan dan Pasar SBSN DJPU.

Sosialisasi ini diharapkan dapat memberi pemahaman yang benar tentang SBSN berikut kelebihannya jika dibandingkan dengan instrumen investasi yang lain kepada masyarakat, khususnya pada para stakeholders tersebut.



sumber: depkeu.go.id

PENYAMPAIAN SURAT PEMERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN

PENGUMUMAN
PENG-04/PJ.09/2009
PENYAMPAIAN SURAT PEMERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN


Sehubungan dengan batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh bagi :
- WP Orang Pribadi tanggal 31 Maret 2009 dan,
- WP Badan tanggal 30 April 2009,
Maka diberitahukan hal-hal sebagai berikut :

1. Diingatkan dan dihimbau kepada WP agar menyampaikan SPT Tahunan PPh-nya jauh
sebelum tanggal jatuh tempo tersebut diatas untuk menghindari antrian panjang.

2. Jenis SPT Tahunan WP OP yang wajib diisi disesuaikan dengan kriteria sebagai berikut :
a. Formulir 1770 SS bagi karyawan yang hanya berpenghasilan dari satu pemberi kerja
dengan jumlah penghasilan tidak lebih dari Rp 60juta setahun;
b. Formulir 1770 S bagi karyawan yg berpenghasilan lebih dari Rp 60juta setahun atau
bagi karyawan yang bekerja pada lebih dari satu pemberi kerja, yang tidak mempunyai
usaha atau pekerjaan bebas;
c. Formulir 1770 bagi WP OP yang mempunyai/melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas.

3. Jenis SPT Tahuna WP Badan yang wjaib diisi adalah formulir 1771

4. Formulir SPT Tahunan dapat diperoleh di seluruh Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor
Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP), pojok pajak di pusat
keramaian, atau di download di website http://www.pajak.go.id/

5. SPT Tahunan PPh diisi dengan benar, jelas dan lengkap dan ditandatangani oleh Wajib
Pajak yang bersangkutan atau pihak yang diberi kuasa oleh Wajib Pajak dengan surat
kuasa bermeterai

6. Apabila terdapat pph kurang dibayar agar dilakukan pembayarannya melalui bank
persepsi atau kantor pos,

7. SPT Tahunan PPh yang telah diisi agar disampaikan langsung atau melalui jasa kiriman
tercatat ke KPP atau KP2KP terdekat, atau melalui drop box Ditjen Pajak yang
ditempatkan di KPP, Pojok Pajak, mobil pajak atau tempat tempat tertentu lainnya

8. SPT Tahunan PPh Formulir 1770 SS dapat dikumpulkan melalui kantor karyawan
masing-masing, yang selanjutnya disampaikan ke KPP atau KP2KP secara kolektif

9. Untuk info lebih lanjut dapat menghubungi Kring Pajak 500200, pojok pajak, mobil pajak,
Kanwil DJP, KPP, dan KP2KP setempat.

Demikian disampaikan agar masyarakat dapat mengetahui dan memahaminya.

BACA JUGA:
a. Pengumuman dari DJP mengenai Penyampaian SPT Tahunan
b. Besarnya Prosentase Norma Penghitungan dan cara penghitungan
c. Tatacara dan Batas waktu pelaporan SPT Tahunan
d. Siapa yang tidak perlu Lapor SPT Tahunan
e. Sanksi apabila terlambat menyampaikan SPT
f. Download SPT Tahunan yuk…
g. Pelaporan SPT Tahunan PPh Ps 21 tahun pajak 2009

Alamat Kantor Pajak




Ini dia alamat kantor pajak di seluruh Indonesia

UPDATE


ada juga Kode KPP-nya sehingga memudahkan temen-temen yang memerlukan informasi

lebih jelas dan lengkapnya silaken klik disini






PENGURANGAN BESARNYA PAJAK PENGHASILANPASAL 25 DALAM TAHUN 2009 BAGI WAJIB PAJAK YANG MENGALAMI PERUBAHAN KEADAAN USAHA ATAU KEGIATAN USAHA

PER-10/PJ/2009

TENTANG

PENGURANGAN BESARNYA PAJAK PENGHASILANPASAL 25 DALAM TAHUN 2009 BAGI WAJIB PAJAK YANG MENGALAMI PERUBAHAN KEADAAN USAHA ATAU KEGIATAN USAHA
istilah gaulnya "INSENTIF PPh Pasal 25"


Siapa Yang dapat diberikan pengurangan ?
Wajib Pajak yang mengalami perubahan keadaan usaha atau kegiatan usaha dalam tahun 2009

Berapa pengurangan yang dapat diberikan?
Dapat diberikan pengurangan sampai dengan 25% untuk masa pajak Januari s.d Juni 2009. Besarnya dihitung dari :
- besarnya PPh Ps 25 bulan Desember tahun 2008 (yang seharusnya dibayar di bulan Desember 2008)
- apabila WP sudah menyampaikan SPT Tahunan 2008, maka besarnya pengurangan dihitung berdasarkan SPT Tahunan PPh 2008

Siapa saja WP yang bisa memanfaatkan pengurangan tersebut?
Semua Wajib Pajak kecuali WP Bank, BUMN, BUMD, Perusahaan Masuk Bursa/Go Publik, dan WP lainnya yang berdasarkan ketentuan harus membuat laporan keuangan berkala.

Bagaimana Caranya?
WP menyampaikan surat pemberitahuan tertulis tentang besarnya PPh Ps 25 yang diminta dengan melampirkan :
- penghitungan PPh yang terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh 2008 atau penghitungan sementara PPh Terutang tahun pajak 2008, (lihat lampiran I) dan
- perkiraan penghitungan PPh yang akan terutang tahun 2009 (lampiran II)
- Ditandatangani pengurus atau direksi
- Download – Lampiran I, II dan PER-10/PJ/2009



Kapan surat tersebut disampaikan ke KPP?
Paling lambat 30 April 2009

Dapatkah mengajukan pengurangan untuk yang masa pajak Juli s.d Desember 2009? Kalo dapat apa syaratnya?
Bisa. Syaratnya :
- surat permohonan pengurangan disampaikan paling lambat tanggal 30 Juni 2009 dan harus dapat menunjukkan bahwa besarnya PPh yang akan terutang untuk tahun 2009 kurang dari 75% dari PPh terutang yang menjadi dasar penghitungan besarnya PPh Pasal 25 masa pajak Januari s.d Juni 2009. dengan dilampirkan :
- penghitungan besarnya PPh yang akan terutang di tahun 2009 berdasarkan penghasilan yang diterima atau diperoleh sampai dengan bulan terakhir sebelum bulan pengajuan permohonan, dan perkiraan penghasilan yang akan diterima sejak bulan pengajuan permohonan sampai dengan Desember 2009. (format lihat Lampiran I dan Lampiran II)
- Download – Lampiran I, II dan PER-10/PJ/2009

Bagaimana apabila WP tidak mengajukan surat permohonan pengurangan PPh Ps 25 untuk masa Juli s.d Desember 2009?
WP wajib membayar PPh Pasal 25 untuk masa Juli s.d Desember 2009 sebesar PPh Pasal 25 yang dihitung berdasarkan ketentuan dalam Pasal 25 ayat (1), ayat (4) dan ayat (6) UU PPh Nomor 36 Tahun 2008.
Download Pasal 25 UU PPh Nomor 36 Tahun 2008

Bagaimana apabila mengajukan pengurangan PPhb Pasal 25 karena disebabkan hal-hal lain??
Dalam hal-hal tertentu (diluar Wajib Pajak yang mengalami perubahan keadaan usaha atau kegiatan usaha dalam tahun 2009) seperti :
Hal-hal tertentu adalah :
- Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian
- Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
- Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan;
- Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
- Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan

Maka pengajuannya pengurangan PPh Ps 25 sesuai dengan ketentuan Keputusan Dirjen Pajak nomor KEP-537/PJ/2000
(Download Tatacara Pengajuan Permohonan Pengurangan PPh Ps 25 untuk Hal-hal tertentu)


BESARNYA PROSENTASE NORMA PENGHITUNGAN

Berikut kami sampaikan agar mengingatkan kembali besarnya NORMA PENGHITUNGAN bagi WP yang menggunakan NORMA PENGHITUNGAN...


KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR KEP - 536/PJ./2000

TENTANG

NORMA PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO BAGI WAJIB PAJAK
YANG DAPAT MENGHITUNG PENGHASILAN NETO DENGAN MENGGUNAKAN NORMA PENGHITUNGAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,



Pasal 1

(1) Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto sebesar Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) atau lebih dalam 1 (satu) tahun wajib menyelenggarakan pembukuan.

(2) Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto di bawah Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun wajib menyelenggarakan pencatatan, kecuali Wajib Pajak yang bersangkutan memilih menyelenggarakan Pembukuan.

Besarnya batas Peredaran Bruto telah mengalami perubahan sebagai berikut :

Untuk tahun pajak 2007 dan 2008
Besarnya peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun bagi Wajib Pajak orang pribadi yang boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, diubah menjadi kurang dari Rp. 1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah). - sesuai pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan nomor 01/PMK.03/2007


Mulai tahun pajak 2009
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. – sesuai Pasal 14 ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2008



(3) Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak memilih untuk menyelenggarakan pembukuan, menghitung penghasilan neto usaha atau pekerjaan bebasnya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.


Pasal 2

(1) Wajib Pajak yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib memberitahukan mengenai penggunaan Norma Penghitungan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak awal tahun pajak yang bersangkutan.

(2) Pemberitahuan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dianggap disetujui kecuali berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

(3) Wajib Pajak yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.


Pasal 3

(1) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1), Wajib Pajak yang memilih menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2), dan Wajib Pajak yang dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyeIenggarakan pembukuan, penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

(2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam tahun pajak yang bersangkutan.


Pasal 4

(1) Norma penghitungan Penghasilan Neto dikelompokkan menurut wilayah sebagai berikut :
a. 10 (sepuluh) ibukota propinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak;
b. ibukota propinsi lainnya;
c. daerah lainnya.

(2) Daftar Persentase Penghasilan Neto adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Keputusan ini.


Pasal 5

(1) Penghitungan penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha atau pekerjaan bebas, dilakukan terhadap masing-masing jenis usaha dengan memperhatikan pengelompokan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

(2) Penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha adalah penjumlahan penghasilan neto dari masing-masing jenis usaha atau pekerjaan bebas yang dihitung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).



Pasal 6

(1) Penghasilan neto bagi tiap jenis usaha dihitung dengan cara mengalikan angka persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan peredaran bruto atau penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dalam 1 (satu) tahun.

(2) Dalam menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak orang pribadi, sebelum dilakukan penerapan tarif umum terlebih dahulu dihitung Penghasilan Kena Pajak dengan mengurangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak dari penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).


Pasal 7

Petunjuk penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Keputusan ini.


Pasal 8

(1) Dengan berlakunya keputusan ini, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-01/PJ.7/1991 tanggal 9 Januari 1991 dan KEP-02/PJ.7/1991 tanggal 9 Januari 1991 dinyatakan tidak berlaku lagi
(2) Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku untuk Tahun Pajak 2001 dan seterusnya.Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.



Download : KEP-536/PJ./2000

Download : Daftar Prosentase Norma Penghitungan (lampiran I KEP-536/PJ./2000)

Download : Petunjuk penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (lampiran II KEP-536/PJ./2000)

Download : PMK-01/PMK.03/2007


BACA JUGA:
a. Pengumuman dari DJP mengenai Penyampaian SPT Tahunan
b. Besarnya Prosentase Norma Penghitungan dan cara penghitungan
c. Tatacara dan Batas waktu pelaporan SPT Tahunan
d. Siapa yang tidak perlu Lapor SPT Tahunan
e. Sanksi apabila terlambat menyampaikan SPT
f. Download SPT Tahunan yuk…
g. Pelaporan SPT Tahunan PPh Ps 21 tahun pajak 2009


PENENTUAN TANGGAL JATUH TEMPO PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PAJAK

Beberapa waktu yang lalu saya ditanya oleh beberapa teman-teman wajib pajak mengenai jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak, karena dalam Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2007 menyatakan bahwa :

“Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling lama 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.”

Sehingga beberapa temen yang menafsirkan bahwa tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak untuk semua jenis pajak untuk suatu masa (termasuk pph ps 21) adalah tanggal 15 bulan berikutnya.

Tapi apakah memang demikian? Ternyata tidak demikian, tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, telah ditentukan lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor : PMK-184/PMK.03/2007 yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2008.



Pasal 2 PMK-184/PMK.03/2007

(1) PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh Pemotong Pajak Penghasilan harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.

(2) PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.

(3) PPh Pasal 15 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

(4) PPh Pasal 15 yang harus dibayar sendiri harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

(5) PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir

(6) PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

(7) PPh Pasal 25 harus dibayar paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

(8) PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor.

(9) PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, harus disetor dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja setelah dilakukan pemungutan pajak.

(10) PPh Pasal 22 yang dipungut oleh bendahara harus disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang yang dibiayai dari belanja Negara atau belanja Daerah, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atas nama rekanan dan ditandatangani oleh bendahara.

(11) PPh Pasal 22 atas penyerahan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas kepada penyalur/agen atau industri yang dipungut oleh Wajib Pajak badan yang bergerak dalam bidang produksi bahan bakar minyak, gas, dan pelumas, harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

(12) PPh pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh Wajib Pajak badan tertentu sebagai Pemungut Pajak harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

(13) PPn atau PPn dan PPnBM yng terutang dalam satu Masa Pajak, harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

(14) PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Bendahara Pemerintah atau instansi Pemerintah yang ditunjuk, harus disetor paling lama tanggal 7 (tujuh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

(15) PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pemungut PPN selain Bendahara Pemerintah atau instansi Pemerintah yang ditunjuk, harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

(16) PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang KUP yang melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa, harus dibayar paling lama pada akhir Masa Pajak terakhir.

(17) Pembayaran masa selain PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang KUP yang melaporkan beberapa masa pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa, harus dibayar paling lama sesuai dengan batas waktu untuk masing-masing jenis pajak.



Tetapi bagaimana apabila tanggal jatuh tempo tersebut bertepatan dengan tanggal merah?
Dalam Pasal 3 PMK-184/PMK.03/2007 telah dijelaskan lebihlanjut :

(1) Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

(2) Hari libur nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Stimulus Dorong Investasi, Perhitungan Insentif PPh 21 agar Pakai Gaji Kotor

Alokasi dana stimulus yang diluncurkan pemerintah sebesar Rp71,3 triliun bisa mendorong kegiatan investasi hingga Rpl 12 tribun pada 2009. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Muhammad Lutfi mengatakan, setiap insentif perpajakan sebesar USD1 akan terjadi pembalikan berupa penanaman modal sebesar USD1.2. Bila ditambah belanja pemerintah melalui proyek-proyek infrastruktur, nilai pembalik-annya mencapail,58kalidari total nilai stimulus yang digelontorkan.





"Artinya.kita akan mendapat stimulus itu, di samping untuk menjaga cashflow perusahaan terbantu dan ada nilai tambahnya.Tetapi nanti juga akan ada government expenditure," ujarnya di Jakarta kemarin.








Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono mengatakan, kebijakan pemerintah mengucurkan dana stimulus fiskal merupakan hal positif dalam menggerakkan perekonomian dalam negeri. Namun, katanya, agar ef ektif sebaiknya daerah juga berperan memberikan stimulus melalui pencairan belanja APBD yang tepat waktu.





Menurut dia, keterlibatan daerah dengan memberikan stimulus diperlukan mengingat ancaman krisis saat ini harus ditangani secara bersama oleh seluruh pemangku kepentingan.





"Masalahnya, pelaksanaannya di lapangan harus diamankan supaya benar-benar ada stimulus di lapangankepada masyarakat. Syukur-syukur ini bisa dilakukan di depan, jangan menunggu di akhir tahun, karena biasanya puncaknya di triwulan IV. Saya tahu ada masalah teknis dan nonteknis. Tapi itulah yang harus kita lalaikan agar ekonomi tidak menurun," ujarnya.





Insentif PPh 21

Peraturan mengenai Stimulus PPh Pasal 21 untuk Karyawan telah keluar PMK-43/PMK.03/2009

dan peraturan pelaksanaannya PER-22/PJ/2009 selengkapnya dapat dibaca DISINI)




Direktorat Jenderal Pajak meminta pembayaran gaji karyawan dinyatakan dalam bentuk kotor untuk mempermudah pelaksanaan fasilitas pajak penghasilan (PPh) pasal 21. Upaya ini agar insentif bisa dirasakan karyawan, bukan perusahaan.





Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution mengatakan, fasihtas PPh 21 bisa saja malah dinikmati perusahaan karena umumnya PPh karyawan di tanggung pemberi kerja. "Karenaitu,kita akan minta gaji dinyatakan dalam bentuk kotor, artinya sebelum dibayar pajak," ujarnya.





Darmin mengibaratkan, bila gaji karyawan sebulan Rp5 juta dan dipungut pajak 15% atau Rp750.000, maka dengan adanya insentif PPh 21, upah pegawai yang harus disetor perusahaan menjadi Rp5,75 juta. "Sebab, dia tidak perlu bayar pajak. Itu kalau gajinya dibayar dalam bentuk kotor," terang dia.





Sebaliknya, bila gaji dibayarkan dalam bentuk bersih, fasilitas penanggungan PPh 21 tersebut akhirnya dinikmati perusahaan.




Sumber: Direktorat Jenderal Pajak Website

Saatnya Lapor SPT

Setelah kita memiliki NPWP, masih ada kewajiban berikutnya yang harus kita penuhi.... apa itu???
Tepat sekali!! Melaporkan semua penghasilan kita di dalam Surat Pemberitahuan Tahunan atau sering kita sebut SPT Tahunan.

Ada beberapa hal yang ingin Kami sampaikan mengenai SPT tahunan tersebut, yaitu:




1. batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi tahun
pajak 2009, adalah paling lambat tanggal 31 Maret 2010.
apabila melewati tanggal tersebut akan dikenakan denda keterlambatan lapor
sebesar Rp 100.000,-

form 1770 SS untuk ORANG PRIBADI YANG MEMPUNYAI PENGHASILAN DARI SATU
PEMBERI KERJA DENGAN PENGHASILAN BRUTO TIDAK MELEBIHI Rp. 60 JUTA
SETAHUN
(form SPT dlm bentuk excel sesuai PER-34/PJ/2009 dan e-SPT-nya dapat di download di Blog ini)

form 1770 S untuk ORANG PRIBADI YANG MEMPUNYAI PENGHASILAN DARI SATU
ATAU LEBIH PEMBERI KERJA, PENGHASILAN DALAM NEGERI LAINNYA, DAN
PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPh FINAL DAN/ATAU BERSIFAT FINAL
(form SPT dlm bentuk excel sesuai PER-34/PJ/2009 dan e-SPT-nya dapat di download di Blog ini)

form 1770 untuk ORANG PRIBADI YANG MEMPUNYAI PENGHASILAN DARI
USAHA/PEKERJAAN BEBAS
(form SPT dlm bentuk excel sesuai PER-34/PJ/2009 dan e-SPT-nya dapat di download di Blog ini)

2. batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Badan tahun 2009 adalah
paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak. Apabila melewati waktu
yang telah ditetapkan tersebut akan dikenakan denda Rp 1.000.000,-
misal :
untuk yang memiliki periode pajak Januari s.d Desember 2009 maka batas
waktu penyampaiannya paling lambat tanggal 30 April 2010.
(form SPT dlm bentuk excel sesuai PER-39/PJ/2009 dan e-SPT-nya dapat di download di Blog ini)

3. Untuk tahun pajak 2009 sudah tidak ada lagi "SPT Tahunan PPh Pasal 21".


Selamat mengisi ....

nb:
bagi rekan2 Wajib Pajak Orang Pribadi baru yang masih bingung cara mengisi SPT,
silakan download tatacara pengisian SPT Tahunan OP dengan contoh kasus DISINI.

BACA JUGA:
a. Pengumuman dari DJP mengenai Penyampaian SPT Tahunan
b. Besarnya Prosentase Norma Penghitungan dan cara penghitungan
c. Tatacara dan Batas waktu pelaporan SPT Tahunan
d. Siapa yang tidak perlu Lapor SPT Tahunan
e. Sanksi apabila terlambat menyampaikan SPT
f. Download SPT Tahunan yuk…
g. Pelaporan SPT Tahunan PPh Ps 21 tahun pajak 2009